DO’A BERSAMA DAN SALAM LINTAS AGAMA
Oleh : Nasudi
(Ketua Majelis
Tarjih dan Tajdid PDM Kab. Tegal )
Ada
video yang sempat viral dan kontroversial saat upacara Hari Kesaktian Pancasila
1 Oktober 2019 yang dilakukan oleh
karyawan Garuda Indonesia. Disana
ada pembacaan do’a yang dipimpin oleh seorang karyawati dengan menggunakan do'a
secara agama Nasrani (Non Islam) padahal boleh jadi peserta upacara tidak semua
penganut Nasrani. (lihat Video : https:// www.youtube.com/watch?v=z9yRXv7sk3o).
Dua peristiwa itu hanyalah
contoh peristiwa yang kemudian menjadi pertanyaan sebagian masyarakat
(khususnya muslim) tentang hukum do'a bersama dan bagaimana sikap seorang
muslim ketika menghadapi acara-acara (Upacara) yang di dalamnya pesertanya
terdiri dari berbagai macam penganut agama yang berbeda.
Belakangan juga kita seringkali
mendengar dan menyaksikan beberapa pejabat yang saat membuka pidatonya dengan mengucapkan beberapa salam,
tidak cukup dengan ucapan “Assalamu’alaikum wr. Wb.” Tetapi juga
dilanjutkan dengan ucapan salam lainnya seperti : “ Salam sejahtera bagi kita semua”, “Om
Swasti Atsu”, “Namo Buddaya”, “Salom”. Salam-salam tersebut orang
banyak menyebutnya dengan “SALAM LINTAS AGAMA”. Melihat
kebiasaaan baru ini banyak orang muslm yang bertanya-tanya patutkah bagi para
pejabat yang muslim mengucapan salam lintas agama tersebut? Tidak cukupkah
dengan ungkapan 1 salam saja? Apakah mengucapkan satu salam saja berarti tidak
torensi? Hal tersebut yang kemudian dirasa perlu adanya fatwa tentang hukum
salam lintas agama.
Pada uraian berikut ini akan
dipaparkan bagaimana sikap pandangan tentang do'a bersama dan salam lintas
agama. Sebatas pengetahuan penulis Majlis tarjih memang belum memberikan fatwa
secara tersurat baik dalam putusan-putusan tarjih maupun fatwa-fatwa
tarjih.
Bolehkah mengaminkan do'a orang kafir (non
muslim)?
Tentang kebolehan mengaminkan do'a
orang kafir para ulama memang ada perbedaan pendapat. Ustad Ammi Nur Baits
(Dewan Pembina Konsultasisyariah.com) menuliskan ada 2 pendapat :
Pendapat pertama, mengaminkan
do'a orang kafir dilarang.
Ini pendapat Abul Mahasin ar-Ruyani –
ulama Syafi’iyah; Beliau berdalil dengan firman Allah,
وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Doa
(ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS.
ar-Ra’du: 14)
Ar-Ruyani mengatakan,
قال الروياني: لا يجوز التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول، أي لقوله
تعالى
Tidak boleh mengaminkan doa orang kafir, karena doa
mereka tidak maqbul. Berdasarkan firman Allah – Ta’ala – .. (kemudian beliau
menyebutkan ayat di atas). (Futuhat al-Wahhab, 2/119)
Akan tetapi pendapat ini banyak disanggah. Para ulama
menilai pendapat beliau dan dalil beliau kurang tepat. Sulaiman bin manshur
al-Jamal – ulama Syafiiyah – dalam Hasyiyahnya mengatakan,
ونوزع فيه بأنه قد يستجاب لهم استدراجا كما استجيب لإبليس
Kami
menyanggah apa yang diutarakan, bahwa terkadang doa mereka diijabahi sebagai
bentuk istidraj, sebagaimana permintaan Iblis dikabulkan. (Futuhat al-Wahhab,
2/119)
Dr.
Jailan bin Hadhar al-Arusi dalam tesisnya – ad-Dua wa Manzilatuhu fi al-Aqidah
al-Islamiyah – mengatakan,
إن إجابة الدعاء من مقتضى الربوبية وهي شاملة للخلق مؤمنهم وكافرهم، فهو يربيهم
بالنعم، ومنها إجابة الدعاء وإغاثة الملهوف وإعانة المكروب وإزالة الشدائد وكشف
الكربات
Masalah dikabulkannya doa itu bagia dari sifat
rububiyah Allah (perbuatan Allah kepada makhluk-Nya). Dan itu mencakup seluruh
makhluk-Nya, yang mukmin maupun yang kafir. Allah mengatur mereka dengan semua
nikmat-Nya, termasuk mengabulkan doa, membantu orang yang kesusahan, menolong
orang yang dalam bahaya, dan menghilangkan bencana.
Lalu
beliau mengutip firman Allah,
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Semua
yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam
urusan. (QS. ar-Rahman: 29)
Dr.
Jailan melanjutkan,
ثم إن الله تعالى قد أجاب دعوة شر خلقه وهو إبليس، قال سفيان بن عيينة ـ رحمه الله:
لا يمنعنَّ أحدًا الدُّعاءُ ما يعلمُ في نفسه (يعني من التقصير) فإنّ الله قد أجابَ
دعاءَ شرِّ خلقهِ وهُو إِبليس حِينَ قَال رَبّ أَنظِرنِي إِلى يَومِ يُبعَثُون
Sesungguhnya Allah telah mengabulkan doa makhluk yang
paling jahat, yaitu Iblis. Sufyan bin Uyainah – rahimahullah – mengatakan,
“Jangan sampai kekurangan yang ada pada diri kita menghalangi kita untuk
berdoa. Karena Allah telah mengabulkan doa makhluk yang paling jahat yaitu
Iblis, ketika dia meminta, ‘Ya Allah, tungguhlah aku sampai hari kebangkitan.’”
Perkataan Sufyan bin Uyainah dinukil oleh al-Hafidz
dalam Fathul Bari, 11/140.
Sementara permintaan Iblis disebutkan dalam al-Quran
surat al-A’raf: 14.
Mengabulkan doa itu hak Allah, yang mengatur seluruh
alam dan yang mencukupi rizki mereka. Imam as-Sa’di mengatakan,
ومن براهين وحدانية الباري وربوبيته إجابته للدعوات في جميع الأوقات، فلا يحصي
الخلق ما يعطيه للسائلين وما يجيب به أدعية الداعين من بر وفاجر ومسلم وكافر
Bagian
dari bukti keesaan Sang Pencipta dan Rububiyah-Nya adalah Dia mengabulkan doa
sepanjang waktu. Tidak ada makhluk yang bisa menghitung berapa yang telah Allah
berikan kepada orang yang meminta, dan berapa doa hamba yang Dia kabulkan, baik
doa dari orang baik, orang jahat, muslim, maupun kafir.
Pendapat Kedua, boleh
mengaminkan doa orang kafir
Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hanya saja mereka
memberikan persyaratan:
[1] Doa orang kafir ini diarahkan kepada ALLAH dan
BUKAN kepada al-Masih ata makhluk lainnya. Misalnya dia mengucapkan, “Semoga
Tuhan memberkahi anda..” karena seorang muslim tidak boleh menyetujui
kesyirikan.
[2] Jangan sampai amin kita memicu penilaian bahwa
kita memuliakan orang kafir, karena mengaminkan doa mereka atau sangkaan bahwa
kita membenarkan doa mereka.
Dalam hasyiyah al-Jamal disebutkan,
وينبغي أن ذلك كله إذا لم يكن على وجه يشعر بالتعظيم، وإلا امتنع خصوصا إذا
قويت القرينة على تعظيمه وتحقير غيره
Dan
selayaknya perlu diperhatikan, bahwa semua itu dibolehkan jika tidak dipahami
ada unsur memuliakan. Jika tidak, tidak boleh mengaminkan. Terutama jika
terdapat indikator kuat di sana ada bentuk memuliakan orang kafir dan
merendahkan yang lain.
Terdapat riwayat dari Hassan bin Athiyah, beliau
mengatakan,
لا بأس أن يؤمن المسلم على دعاء الراهب
Tidak masalah seorang mukmin mengaminkan doa rahib.
(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 29835).
Berdasarkan keterangan di atas, maka do'a bersama
yang didalamnya disebut Tuhan selain
Allah sebagai tempat bermohon do'a maka bukan termasuk dalam kategori yang
dibolehkan. Bagaimana dengan salam
lintas agama? Salam dalam pandangan ajaran Islam bukan sekedar sapaan biasa,
tetapi di dalamnya ada permohonan do'a
kepada Tuhan. Maka,kalau didalam sapaan salam ada permohonan kepada Tuhan
selain Allah maka sebenarnya dihukumi sama dengan hukum do'a bersama.
Berikut ini kami
nukilkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hukum do'a bersama:
FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor: 3/MUNAS VII/MUI/7/2005, Tentang DO’A BERSAMA
Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah
Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah
:
MENIMBANG :
a. bahwa dalam acara-acara resmi ke-
masyarakatan maupun kenegaraan terkadang dilakukan do’a oleh umat Islam
Indonesia dalam bentuk do’a bersama dengan penganut agama lain pada satu tempat
yang sama;
b. bahwa hal tersebut telah menimbulkan
pertanyaan di kalangan umat Islam tentang hukum do’a bersama
menurut hukum Islam;
c. bahwa oleh karena
itu,
MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang do’a bersama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.
MENGINGAT :
1. Firman
Allah swt, antara lain:
أَمَّن
يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ
خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang
dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan
dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping
Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS.27.
An-Naml : 62).
لَّقَدۡ
كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ
إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ
ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan:
"Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa
yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan
ditimpa siksaan yang pedih.(QS.5. Al-Maidah : 73).
.... وَمَا دُعَٰٓؤُاْ ٱلۡكَٰفِرِينَ إِلَّا فِي
ضَلَٰلٍ
Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka.
(QS.40. Ghofir : 50).
وَٱلَّذِينَ
لَا يَدۡعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقۡتُلُونَ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي
حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَلَا يَزۡنُونَۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ
يَلۡقَ أَثَامٗا
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain
beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang
melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya),
(QS.25. Al-Furqan : 68).
وَلَا
تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ
تَعۡلَمُونَ
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang
bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.
(QS.2. Al-Baqarah :
قُلۡ
يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ وَلَآ أَنتُمۡ
عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ وَلَآ أَنتُمۡ
عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ
1.
Katakanlah:
"Hai orang-orang kafir, 2. Aku tidak
akan
2. menyembah apa yang kamu sembah. 3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku
sembah. 4. Dan aku tidak pernah menjadi
penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. Untukmu agamamu, dan untukkulah,
agamaku". (QS.109. Al-Kafirun
:109).
2. Hadis Nabi s.a.w.:
الدُّعَاءُ
مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Do’a
adalah otak (inti)
ibadah.” (HR. Tirmizi). (Pen.
(Versi Maktabah Syamilah : 3293).
3.
Qa’idah fiqh:
الأصل في
العبادة التوقيف والاتباع
“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah
tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).” (Pen.
Lihat Ilmu Al-maqasid Asy-syar’iyah 1/166)
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat para ulama
(lihat, a.l.: Hasyiyatul Jamal Fathul Wahhab, juz V, h. 226; Hasyiyatul Jamal,
juz II, h. 119; Mughnil Muhtaj, juz I, h. 323; dan al-Majmu’, juz V, h. 72 dan
66):
“Kaum zimmi dan orang kafir lainnya tidak boleh bercampur dengan
kita, baik di dalam tepat salat kita maupun ketika keluar (dari kampung, tempat
tinggal); dalam arti hal itu hukumnya makruh. Mereka di tempat terpisah dari
kita, karena mereka adalah musuh Allah. Boleh jadi akan ada azab menimpa mereka
disebabkan kekufuran mereka, dan azab tersebut dapat menimpa kita juga. Allah
berfirman: “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa
orang- orang yang zalim saja di antara kamu…” (QS. al-Anfal [8]: 25). Tidak
boleh pula mengamini do’a mereka --sebagaimana dikemukakan oleh Imam
Rauyani-- karena do’a
orang
kafir tidak diterima (dikabulkan). Sebagian
ulama berpendapat, do’a mereka bolehjadi dikabulkan sebagaimana telah
dikabulkan do’a iblis yang minta agar ditangguhkan.
2. Rapat
Komisi Fatwa MUI
pada Sabtu, 13 Ramadhan 1421/9 Desember 2000.
3. Pendapat Sidang Komisi
C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN :
FATWA TENTANG DO’A BERSAMA
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini,
yang dimaksud dengan :
1. Do’a Bersama
adalah berdo’a yang dilakukan secara bersama-sama antara umat Islam dengan umat
non-Islam dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan pada waktu
dan tempat yang sama, baik dilakukan dalam bentuk satu atau beberapa orang
berdo’a sedang yang lain mengamini maupun dalam bentuk setiap orang berdo’a
menurut agama masing-masing secara bersama-sama.
2. Mengamini
orang yang berdo’a
termasuk do’a.
Kedua : Ketentuan Hukum
1. Do’a
bersama yang dilakukan
oleh orang Islam dan non-muslim
tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk BID’AH.
2. Do’a Bersama
dalam bentuk “Setiap pemuka agama berdo’a secara bergiliran” maka orang Islam HARAM
mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh non-muslim.
3. Do’a Bersama dalam bentuk “Muslim dan non-
muslim berdo’a secara serentak” mereka membaca teks do’a bersama-sama)
hukumnya HARAM.
4. Do’a Bersama
dalam bentuk “Seorang non- Islam memimpin do’a” maka orang Islam HARAM
mengikuti dan mengamininya.
5. Do’a Bersama
dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin do’a” hukumnya MUBAH.
6. Do’a dalam bentuk “Setiap orang berdo’a
menurut agama masing-masing” hukumnya MUBAH.
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal
: 21 Jumadil Akhir 1426 H. 28 J u l i
2005 M
MUSYAWARAH
NASIONAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang
Komisi C Bidang Fatwa
Ketua Sekretaris
K.H. Ma’ruf Amin Drs. H. Hasanuddin,
M.Ag
PENJELASAN ATAS
FATWA DO’A BERSAMA
Bagi umat Islam,
Do’a Bersama bukan merupakan sesuatu yang baru. Sejak belasan abad,
bahkan sejak
agama Islam disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w., hingga
sekarang, mereka sudah terbiasa melakukannya, baik dilakukan setelah salat
berama’ah maupun pada event-event tertentu.
Do’a adalah suatu
bentuk kegiatan berupa permohonan manusia kepada Allah SWT semata (lihat antara
lain QS. al-Naml [27]: 62). Dalam sejumlah ayat al-Qur’an (lihat antara lain
QS. al-Mu’min [40]:60) Allah memerintahkan agar berdo’a. Oleh karena itu,
kedudukan do’a dalam ajaran Islam adalah ibadah. Bahkan Nabi s.a.w.
menyebutnya sebagai otak atau intisari ibadah (mukhkh al-‘ibadah). Sebagai
sebuah ibadah, pelaksanaan do’a wajib mengikuti ketentuan atau aturan yang
telah digariskan oleh ajaran Islam. Di antara ketentuan paling penting dalam
berdo’a adalah bahwa do’a hanya dipanjatkan kepada Allah SWT semata.
Dengan demikian, di dalam do’a sebenarnya terkandung juga unsur aqidah, yakni
hal yang paling fundamental dalam agama (ushul al-din).
Di Indonesia akhir-akhir ini, dalam
acara-acara resmi kemasyarakatan maupun kenegaraan umat Islam terkadang
melakukan do’a bersama dengan penganut
agama lain pada satu tempat yang sama.
Do’a dengan bentuk seperti itulah yang dimaksud dengan Do’a Bersama. Sedangkan
do’a yang dilakukan hanya oleh umat Islam sebagaimana disinggung di atas tidak
masuk dalam pengertian ini. Do’a Bersama tersebut telah menimbulkan sejumlah
pertanyaan di kalangan umat Islam, terutama tentang status hukumnya. Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 telah
menetapkan fatwa tentang Do’a Bersama.
Bagi sejumlah kalangan, Fatwa tersebut telah
cukup dapat menjawab persoalan; akan tetapi bagi sebagian kalangan lain, Fatwa
itu masih mengandung persoalan sehingga penjelasan lebih lanjut masih tetap
diperlukan.
Berikut adalah Fatwa dimaksud serta
penjelasannya:
A. Bentuk-bentuk Do’a bersama
1.
Satu orang berdo’a (memanjatkan do’a)
sedang
yang
lain
mengamininya (megucapkan AMIN).
2. Beberapa orang berdo’a sedang yang lain
mengamininya.
3. Setiap orang berdo’a menurut agama
masing-masing secara bersama-sama.
4. Mengamini
(megucapkan AMIN kepada) orang yang berdo’a. Hal itu karena arti AMIN adalah
istajib du’a`ana (perkenankan atau kabulkan do’a kami, ya Allah).
B. Bentuk-bentuk Do’a
Bersama yang HARAM
1.
Setiap pemuka agama berdo’a secara bergiliran.
Dalam
bentuk ini orang Islam HARAM mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh
non-muslim.
a. Mengapa haram mengamini do’a non-muslim?
Karena, sebagaimana telah dijelaskan, “mengamini” sama dengan berdo’a; dan
ketika yang berdo’a adalah non-muslim, maka
orang Islam yang
mengamini tersebut berarti ia berdo’a kepada tuhan yang
kepadanya non-muslim berdo’a. Padahal konsep dan aqidah mereka tentang tuhan,
menurut al-Qur’an, berbeda dengan aqidah orang Islam (lihat antara lain QS. al-Ma’idah [5]: 73).
Dengan demikian, orang Islam yang megamini
do’a yang dipanjatkan oleh non-muslim dapat dikategorikan kafir atau musyrik.
b. Orang Islam yang karena alasan tertentu harus
mengikuti do’a bersama, maka ketika non-muslim memanjatkan do’a, ia wajib diam
dalam arti haram mengamininya.
2. Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak
(misalnya mereka membaca teks do’a bersama-sama).
Do’a
Bersama dalam bentuk ini hukumnya HARAM. Artinya, orang Islam tidak boleh
melakukannya. Sebab do’a seperti itu dipandang telah mencampuradukkan antara
ibadah (dalam hal do’a) yang haq (sah, benar) dengan ibadah yang bathil
(batal); dan hal ini dilarang oleh agama (lihat antara lain QS. al-Baqarah [2]:
42).
Do’a Bersama dalam bentuk kedua ini pun
sangat berpotensi mengancam aqidah orang Islam yang awam. Cepat atau lambat,
mereka akan menisbikan status do’a yang dalam ajaran Islam merupakan ibadah,
serta dapat pula menimbulkan anggapan bagi mereka bahwa aqidah ketuhanan
non-muslim sama dengan aqidah ketuhanan orang Islam. Di sini berlakulah kaidah;
“sadd al-zari’ah” dan “daf’u al-dharar”.
3. Seorang non-Islam memimpin do’a.
Dalam Do’a Bersama bentuk ketiga ini orang
Islam HARAM mengikuti dan mengamininya; dengan alasan sebagaimana pada bentuk
pertama
C. Bentuk-bentuk Do’a Bersama yang MUBAH (Dibolehkan)
1. Seorang
tokoh Islam memimpin do’a.
2.
Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing.
D. Penutup
1. Do’a Bersama sebagaimana dimaksudkan dalam fatwa pada
dasarnya tidak dikenal dalam Islam; dan karenanya termasuk bid’ah (bagian kedua angka
1). Akan tetapi, tidak berarti semua bentuk Do’a Bersama hukumnya
haram. Mengenai status hukumnya dijelaskan pada angka 2 s-d 6).
2. Ada tiga bentuk Do’a Bersama yang bagi orang
Islam haram melakukannya. Dua bentuk (lihat B angka 1 dan 3) disebabkan orang
Islam mengamini do’a non-muslim, dan satu bentuk (lihat B angka 2) disebabkan mencam-puradukkan
ibadah dan aqidah dengan ibadah Islam dan aqidah non-muslim.
3. Ada dua bentuk Do’a Bersama yang hukumnya mubah (boleh
dilakukan) oleh umat Islam (lihat C)
hal ini karena yang berdo’a adalah orang Islam sendiri dan tidak mengamini do’a
non muslim.
4. Larangan Do’a Bersama
dalam tiga bentuk di atas (huruf B) tidak dapat dipandang sebagai pemberangusan
terhadap kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing,
melainkan untuk melindungi kemurnian aqidah dan ibadah umat Islam, serta
merupakan penghormatan terhadap keyakinan setiap pemeluk agama.
5. Menghadiri Do’a Bersama
yang dipimpin oleh non-muslim tidak diharamkan dengan syarat tidak
mengamininya. Namun demikian, sebaiknya orang Islam tidak menghadirinya. Jika
terpaksa harus menghadirinya, ia wajib bersikap pasif (berdiam diri,
tidak mengamini) ketika non-muslim berdo’a.
6. Maksud
kata “Mengikuti” dalam
Fatwa, bagian kedua, angka
2 dan 4
adalah mengikuti do’a
yang dipimpin oleh non-muslim yang disertai mengamininya
atau mengikuti gerakan-gerakan dan tata cara berdo’a yang dilakukan oleh
non-muslim walaupun tanpa disertai mengamininya. Oleh karena itu, bagi orang
muslim mengikuti do’a non-muslim haram hukumnya, karena hal itu sama dengan
mengikuti gerakan atau tata cara beribadah yang dilakukan oleh non- muslim.
Sedangkan menghadiri semata do’a non-muslim, tanpa mengikuti gerakan-gerakan
dan tata caranya dan tanpa mengamininya, tidak diharamkan sebagaimana
dijelaskan pada angka 5 di atas.
Demikian kutipan
Fatwa MUI yang sebenarnya sudah lama
dikeluarkan yakni pada tahun 2005. Menurut hemat penulis fatwa tersebut
sudah cukup baik tanpa bermaksud mengurangi makna TOLERANSI DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
FATWA MUI DALAM MASALAH SALAM
LINTAS AGAMA
Dalam ungkapan salam (Islam) yang biasa
kita ucapkan dan dengarkan yakni : “Assalamu'alaikum Warahmatullahi wa
barakatuh”, di dalamnya ada unsur do'a (mendo’akan), sehingga seringkali lafadz
tersebut diterjemahkan : “Semoga keselamatan , rahmat Allah dan keberkahan-Nya
atas kalian”. Demikian pula ungkapan salam
versi agama lain juga ada yang mengandung unsur do'a. Maka dari itu
salam ini dihukumi sebagaimana do'a bersama.
Di bawah ini kami kutipkan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur tertanggal 8 November 2019, Sebagai
berikut:
TAUSHIYAH MUI PROVINSI JAWA TIMUR
TERKAIT DENGAN FENOMENA PENGUCAPAN SALAM LINTAS AGAMA DALAM SAMBUTAN-SAMBUTAN
DI ACARA RESMI
Bahwa akhir-akhir ini berkembang
kebiasaan, seseorang dalam membuka sambutan atau pidato di acara-acara resmi
sering kali menyampaikan salam atau kalimat pembuka dari semua agama. Hal ini
muncul dilandasi motivasi untuk meningkatkan kerukunan hidup antar umat
beragama agar terjalin lebih harmonis sehingga dapat memperkokoh kesatuan
bangsa dan keutuhan NKRI. Namun demikian, mengingat bahwa ucapan salam
mempunyai keterkaitan dengan ajaran yang bersifat ibadah, maka Dewan Pimpinan
MUI Provinsi Jawa Timur merujuk pada rekomendasi Rapat Keija Nasional
(Rakernas) MUI 11-13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat, perlu menyampaikan
taushiyah dan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1.
Bahwa agama
adalah sistem keyakinan yang didalamnya mengandung ajaran yang berkaitan dengan
masalah aqidah dan sistem peribadatan yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya,
sehingga meniscayakan adanya perbedaan-perebedaan antara agama satu dengan
agama yang lain.
2.
Dalam
kehidupan bersama di suatu masyarakat majemuk, lebih-lebih Indonesia yang
mempunyai semboyan Bhinneka tunggal ika, adanya perbedaan-perbedaan menuntut
adanya toleransi dalam menyikapi perbedaan.
3.
Dalam
mengimplementasikan toleransi antar umat beragama, perlu ada kriteria dan
batasannya agar tidak merusak kemurnian ajaran agama. Prinsip tolerasi pada
dasarnya bukan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda,
tetapi toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia
untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing
fihak yang berbeda.
4.
Islam pada
dasarnya sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi, yang antara lain
diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah [2]:
256); prinsip tidak mencampur aduk ajaran agama dalam konsep " Untukmu/ah
agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri". (QS. al-Kafirun [109]: 6),
prinsip kebolehan berinteraksi dan berbuat baik dalam lingkup muamalah (QS.
al-Mumtahanah [60]: 8), dan prinsip berlaku adil kepada siapapun (QS. al-Maldah
[8]: 8).
5.
Jika
dicermati, salam adalah ungkapan do'a yang merujuk pada keyakinan dari agama
tertentu. Sebagai contoh, salam umat Islam, ''Assaiaamu 'aiaikum" yang
artinya "semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian".
Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa,
yang tidak ada Tuhan selain Dia. Salam umat Budha, "Namo buddaya”,
artinya terpujilah Sang Budha satu ungkapan yang tidak terpisahkan
dengan keyakinan umat Budha tentang Sidarta Gautama. Ungkapan pembuka dari
agama Hindu, "Om swasti astu". Om, adalah panggilan
umat Hindu khususnya di Bali kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu "Sang
Yang WidhiZ "Om", seruan ini untuk memanjatkan doa atau puja
dan puji pada Tuhan yang tidak lain dalam keyakinan Hindu adalah Sang Yang
Widhi tersebut. Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti
artinya bahagia. Sedangkan Astu artinya semoga. Dengan demikian ungkapan Om
swasti astu kurang lebih artinya, "semoga Sang Yang Widhi
mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan".
6.
Bahwa doa' adalah
bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. Bahkan di dalam Islam do'a adalah
inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa
basi tetapi do'a.
7.
Mengucapkan
salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan
baru yang merupakan bid'ah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal
mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.
8.
Dewan
Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan
kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai
dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, "Assalaamu'laikum.
Wr. Wb." Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat
terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang
dianutnya.
Demikian taushiyah / pokok-pokok
pikiran dari MUI Provinsi Jawa Timur.
Surabaya, 11 Rabiul Awal 1441 H/
8 November 2019 M
Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur
Ketua Sekretaris
KH. Abdusshomad Buchori H.Ainul Yaqin, S,Si, M.Si
Fatwa tersebut menimbulkan pro dan kontra.
PWNU melalui Katib Syuriah PWNU Jatim KH Syafrudin Syarif mengemukakan: Bagi
pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat Assalamualaikum
warrahmatullahi wabarakatuh atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti
selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua dan semisalnya. Namun
demikian, dalam kondisi dan situasi tertentu untuk menjaga persatuan bangsa dan
menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam
lintas agama,” katanya seperti dilansir Beritajatim.com-jaringan Suara.com di kantor
PWNU Jatim pada Selasa (12/11/2019).
Sementara PW Muhammadiyah Jawa Timur Wilayah
Muhammadiyah (PWM), Jawa Timur, melalui Ketuanya Kiai Saad Ibrahim.kepada TIMES Indonesia,
pihaknya mendukung imbaun salam yang terlampir dalam surat bernomor
110/MUI/JTM/2019. Beliau menyerukan kepada semua pejabat untuk menggunakan
salam sesuai ajaran agama masing-masing saja. Pejabat Islam misalkan, cukup
menggunakan salam 'Assalaamu'alaikum. Wr. Wb'. Kalaupun harus ditambah salam
lintas agama, yakni bisa digunakan selamat pagi atau dengan selamat yang
lainnya saja. "Jadi, jika dalam sebuah pertemuan diketahui ada yang bukan
muslim, maka bisa digunakan salam Islam seraya diniatkan semata untuk sesama muslim,
bisa juga ditambahkan selamat pagi atau selamat siang,".
Menurut beliau soal polemik salam
lintas agama ini merupakan otoritas Majlis Tarjih dan Tajdid. Dimana, jika isu
tersebut menjadi isu nadional, maka nantinya pada tingkat Pengurus Pusat Muhammadyah
yang akan membahasnya.
Dari ketrangan-keterangan di atas maka
penulis berpendapat bahwa bila kita
meyakini bahwa do'a dan salam itu merupakan bagian ibadah yang berkaitan dengan
aqidah (ketauhidan), maka tidak lah layak untuk dilakukan oleh seorang Muslim
yang baik. Adanya penjelasan di atas juga memberikan pemahaman kepada
masyarakat luas bahwa dalam aqidah kita tidak boleh mencampurkan keyakinan
agama lain, walau atas nama toleransi dan kebhinnekaan. Sepatutnya orang-orang
memahami bahwa toleransi itu berarti mengakui dan menerima perbedaan
(Kebhinnekaan) bukan memaksakan yang berbeda untuk disamakan. Kita tentu masih ingat asbabun nuzul dari
QS.109. Al-Kafirun : 1-6.