Friday, 25 August 2017

BILA SHALAT 'ID JATUH HARI JUM'AT, WAJIBKAH SHALAT JUM'AT

SHALAT ‘ID DI HARI JUM'AT, BOLEHKAH MENINGGALKAN SHALAT JUM'AT
(Naskah ini telah dimuat juga dalam Jurnal Kajian Rutin Edisi ke-6 Agustus 2017 MTT PDM Kab. Tegal )

Insya Allah Hari Raya Idul Adha 1438 H akan jatuh pada hari Jumat Wage 1 September 2017 M. Hal ini berdasarkan hisab haqiqi yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Kondisi seperti ini akan berakibat pada konsekuensi hukum pelaksanaan Shalat Jumat. Jika kita menelaah berbagai kitab hadits, akan didapati beberapa riwayat atau hadits yang menerangkan adanya keringanan untuk tidak melakukan shalat Jum’at bagi orang yang telah melakukan shalat Hari Raya.  Permasalahan hari raya (baik Idul Fitri maupun Idul Adha) yang jatuh pada hari Jumat pernah ditanyakan dan dijawab dalam SM selanjutriya dapat dibaca kembali dalam Buku Tanya Jawab Agama jilid II halaman 114. Penerbit Suara Muhammadiyah tahun 1992. Kemudian pada tahun 1995 permasalahan tersebut dibahas lagi oleh Majelis Tarjih karena Hari Raya Idul Fitri Tahun 1415 H/1995 M jatuh pada hari Jumat tanggal 3 Maret 1995. Hasilnya dimuat dalam Surat Majelis Tarjih PP Muhammadiyah No.19/C.1/MT PPM/1995, tanggal 15 Ramadlan 1415 H/15 Februari 1995 M.

Ada beberapa hadits yang menerangkan adanya keringanan untuk tidak melakukan shalat Jumat bagi orang yang pada pagi harinya sudah melaksanakan shalat Id. Tetapi hadits-hadits tersebut ada yang dinilai lemah, karena ada perawinya yang tidak dikenal, yaitu hadits riwayat Ahmad, Abu Daud dan lbnu Majah dari Ilyas bin Abi Ramlah. Ada juga yang dinilai sebagai hadits mursal, yaitu hadits riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah. Disamping itu, ada juga hadits yang dinilai sahih. yaitu hadits yang diriwayatkan an-Nasai dan Abu Daud. Hadits tersebut sebagai berikut:
عَنْ وَهْبِ بْنِ كَيْسَانِ قَالَ: اِجْتَمَعَ عِيْدَانِ عَلَى عَهْدِ بْنِ الزُّبَيْرِ، فَأَخَّرَ اْلخُرُوجَ حَتَّى تَعَالَى النَّهَارَ ثُمَّ خَرَجَ فَخَطَبَ، ثُمَّ نَزَلَ فَصَلَّى، وَلَمْ يُصَلِّ لِلنَّاسِ يَوْمَ اْلجُمْعَةِ. فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لاِبْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ أَصَابَ السُّنَّةَ. [رواه السائى وأبو داود]
 Hadits diriwayatkan dari Wahab bin Kaisan, ia berkata: Telah bertepatan dua hari raya (Jumat dan hari raya) di masa Ibnu Zubair, dia berlambat-lambat keluar, sehingga matahari meninggi. Di ketika matahari telah tinggi, dia pergi keluar ke mushala lalu berkhutbah, kemudian turun dari mimbar lalu shalat. Dan dia tidak shalat untuk orang ramai pada hari Jumat itu (dia tidak mengadakan shalat Jumat lagi). Saya terangkan yang demikian ini kepada Ibnu Abbas. Ibnu Abbas berkata: Perbuatannya itu sesuai dengan sunnah.” [HR. an-Nasai dan Abu Daud]

Hadits lainnya adalah yang menerangkan bacaan shalat Nabi ketika hari raya jatuh pada hari Jumat, yaitu sebagai berikut:
عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي اْلعِيدَيْنِ وَفِي اْلجُمْعَةِ سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى وَ هَلْ أَتَاكَ حَدِيْثُ اْلغَاشِيَةِ، وَإِذَا اجْتَمَعَ اْلعِيدُ وَاْلجُمْعَةُ فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ يَقْرَأُ بِهِمَا فِي صَلاَتَيْنِ. [رواه الجماعة إلا البخاري وابن ماجة]
 “Diriwayatkan dari Nu'man bin Basyir ra., ia berkata: Nabi saw selalu membaca pada shalat kedua hari raya dan shalat Jumat: sabbihisma rabbikal a'la dan hal ataka haditsul ghasyiyah. Apabila berkumpul hari raya dan Jumat pada suatu hari Nabi saw membaca surat-surat itu di kedua-dua shalat.” [HR. al-Jamaah kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah]
Menurut Majelis Tarjih, memahami riwayat yang pertama timbul kesan bahwa apabila hari raya jatuh pada hari Jumat, shalat Jumat tidak perlu dilakukan. Pemahaman yang demikian adalah belum selesai, mengingat adanya hadits yang kedua yang diriwayatkan oleh segolongan ahli hadits termasuk Muslim, kecuali al-Bukhari dan Ibnu Majah. Dari riwayat yang kedua melalui pemahaman isyaratun nas dapat dipahami bahwa Nabi saw pada hari raya tetap melakukan shalat Jumat.
Dengan demikian menjadi jelas, bahwa Nabi saw melakukan shalat Jumat sekalipun hari itu bertepatan dengan hari raya. Adapun keringanan yang disebut pada riwayat yang pertama adalah merupakan keringanan bagi orang yang sangat jauh dari kota untuk menuju tempat shalat hari raya dan shalat Jumat di kala itu. Sehingga apabila seseorang harus bolak-balik, yaitu pulang dari shalat Id lalu kembali lagi untuk shalat Jumat padahal jauh tempat tinggalnya, maka akan mengalami kesukaran dan kepayahan.
Atas dasar ini Majelis Tarjih menyimpulkan bahwa bila hari raya jatuh pada hari Jumat, Nabi saw melaksanakan shalat Jumat. Oleh karenanya, seluruh warga Muham-madiyah hendaknya tetap melakukan shalat Jumat pada hari raya di masjid-masjid yang mudah dijangkau pada siang harinya setelah pada pagi harinya melaksanakan shalat Id.
(Sumber : Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah, Buku Tanya Jawab Agama Jilid 5 Cet. II tahun 2007 hal. 48-51).

PENDAPAT  FATWA LAJNAH DAIMAH

Fatwa no. 21160 diterbitkan tanggal 8 Dzulqa’dah 1420 H

Terdapat banyak pertanyaan terkait peritiwa hari raya yang bertepatan dengan hari jumat. Baik idul fitri maupun idul adha. Apakah jumatan tetap wajib dilaksanakan bagi mereka yang telah melaksanakan shalat id? Bolehkah mengumandangkan adzan di masjid yang diadakan shalat dzuhur? Dan beberapa pertanyaan terkait lainnya. Untuk itu, Lajnah Daimah menerbitkan fatwa berikut:

Dalam permasalahan ini, ada beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keterangan sahabat yang menjelaskan hal itu. Diantaranya:

Pertama, hadis Zaid bin Arqam radhiyallahu ‘anhu, bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepadanya: “Apakah anda pernah mengikuti hari raya yang bertepatan dengan hari jumat di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam?” “Lalu apa yang beliau lakukan?” Jawab Zaid:

صلى العيد ثم رخص في الجمعة، فقال: من شاء أن يصلي فليصل
Beliau shalat id, dan memberi keringanan untuk tidak shalat jumat. Beliau berpesan: ‘Siapa yang ingin shalat jumat, hendaknya dia shalat.’” (HR. Ahmad, Abu Daud, Nasai, ibn Majah, Ad-Darimi).

Kedua, hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قد اجتمع في يومكم هذا عيدان، فمن شاء أجزأه من الجمعة، وإنا مجمعون
“Pada hari ini terkumpul dua hari raya (jumat dan id). Siapa yang ingin shalat hari raya, boleh baginya untuk tidak jumatan. Namun kami tetap melaksanakan jumatan.” (HR. Abu Daud, Ibn Majah, Ibnul Jarud, Baihaqi, dan Hakim).

Ketiga, hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم فصلى بالناس ثم قال: من شاء أن يأتي الجمعة فليأتها ومن شاء أن يتخلف فليتخلف

Pernah terkumpul dua hari raya dalam sehari di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau mengimami shalat id, dan berkhutbah: “Siapa yang ingin jumatan, silahkan datang jumatan. Siapa yang ingin tidak hadir jumatan, boleh tidak hadir. (HR. Ibn Majah).
Sementara dalam riwayat At-Thabrani di Al-Mu’jam Al-Kabir, dinyatakan bahwa Ibnu Umar menceritakan:

اجتمع عيدان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم: يوم فطر وجمعة، فصلى بهم رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد، ثم أقبل عليهم بوجهه فقال: يا أيها الناس إنكم قد أصبتم خيراً وأجراً وإنا مجمعون، ومن أراد أن يجمع معنا فليجمع، ومن أراد أن يرجع إلى أهله فليرجع
Pernah terkumpul dua hari raya dalam sehari di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, idul fitri dan hari jumat. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat id, lalu berkhutbah di hadapan para saha-bat: “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah mendapat-kan kebaikan dan pahala, namun kami akan tetap melaksanakan jumatan. Siapa yang ingin ikut jumatan bersama kami, silahkan ikut. Siapa yang ingin pulang ke keluarganya, silahkan pulang.”

Keempat, hadis dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اجتمع عيدان في يومكم هذا فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون إن شاء الله
Terkumpul dua hari raya pada hari ini. Siapa yang ingin shalat id, maka boleh baginya untuk tidak ikut jumatan. Dan kami akan tetap melaksanakan jumatan, insyaa Allah.” (HR. Ibn Majah, kata Al-Bushiri: Sanadnya shahih dan perawinya tsiqat).

Kelima, riwayat dari Atha bin Abi Rabah, beliau menceritakan:
Abdullah bin Zubair pernah mengimami kami shalat id pada hari jumat di pagi hari. Kemudian (si siang hari) kami berangkat jumatan. Namun Abdullah bin Zubair tidak keluar untuk mengimami jumatan, sehingga kami shalat (dzuhur) sendiri-sendiri. Ketika itu, Ibnu Abbas sedang di Thaif. Ketika kami datang ke Thaif, kami ceritakan kejadian ini dan beliau mengatakan, ‘Dia (Ibn Zubair) sesuai sunah.’” (HR. Abu Daud). Dalam riwayat Ibnu Khuzaimah terdapat tambahan, bahwa Ibnu Zubair mengatakan:
رأيت عمر بن الخطاب إذا اجتمع عيدان صنع مثل هذا
Saya melihat Umar bin Khatab, ketika ada dua hari raya yang bersamaan, beliau melakukan seperti itu.”
Keenam, riwayat dari Abu Ubaid, bekas budak Ibnu Azhar, bahwa beliau pernah mengalami kejadian berkum-pulnya dua hari raya di zaman Utsman bin Affan. Ketika itu hari jumat. Kemudian beliau shalat hari raya, lalu berkhutbah:
يا أيها الناس إن هذا يوم قد اجتمع لكم فيه عيدان، فمن أحب أن ينتظر الجمعة من أهل العوالي فلينتظر، ومن أحب أن يرجع فقد أذنت له
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya pada hari ini terkumpul dua hari raya. Siapa diantara penduduk pedalaman yang ingin menunggu jumatan maka hendaknya dia menunggu (tidak pulang). Dan siapa yang ingin pulang, aku izinkan dia untuk pulang.” (HR. Bukhari dan Malik dalam Al-Muwatha’)

Ketujuh, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa terkumpul dua hari raya di hari jumat, beliau berkhutbah setelah shalat id:
من أراد أن يجمع فليجمع، ومن أراد أن يجلس فليجلس
Siapa yang ingin menghadiri jumatan, silahkan datang. Siapa yang ingin tetap di rumah, silahkan duduk di rumahnya (tidak berangkat jumatan).” (HR. Ibn Abi Syaibah dan Abdur Razaq).

Berdasarkan beberapa hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, keterangan dan praktek sejumlah sahabat radhiyallahu ‘anhum, serta pendapat yang dianut oleh mayoritas ulama, maka Lajnah Daimah memutus-kan hukum berikut:

Orang yang telah menghadiri shalat id, mendapat keringanan untuk tidak menghadiri jumatan. Dan dia wajib shalat dzuhur setelah masuk waktu dzuhur. Akan tetapi jika dia tidak mengambil keringanan, dan ikut shalat jumat maka itu lebih utama.Orang yang tidak menghadiri shalat id maka tidak termasuk yang mendapatkan keringanan ini. Karena itu, kewajiban jumatan tidak gugur baginya, sehingga diawajib berangkat ke masjid untuk melaksanakan shalat jumat. Jika di masjid tempatnya tidak ada shalat jumat maka dia shalat dzuhur.Wajib bagi takmir masjid atau petugas jumatan untuk mengadakan jumatan di masjidnya, untuk menyediakan sarana bagi mereka yang tidak shalat id atau orang yang ingin melaksanakan jumatan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam khutbahnya: “Namun kami tetap melaksanakan jumatan” sebagaimana disebutkan dalam hadis-hadis di atas.Orang yang shalat id dan mengambil keringanan untuk tidak jumatan, dia wajib shalat dzuhur setelah masuk waktu dzuhur.Tidak disyariatkan mengumandangkan adzan di hari itu, kecuali adzan di masjid yang diadakan shalat jumat. Karena itu, tidak disyariatkan melakukan adzan dzuhur di hari itu.Pendapat yang menyatakan bahwa orang yang shalat id maka gugur kewajibannya untuk shalat jumat dan shalat dzuhur pada hari itu, adalah pendapat yang tidak benar. Oleh sebab itu, para ulama menghindari pendapat ini, dan menegaskan salahnya pendapat ini, karena bertentangan dengan ajaran dan menganggap ada kewajiban yang gugur tanpa dalil.

Walldhu a'lam.


---- ===NSD=== ----






khutbah Idul Adha 1438 H / AGUSTUS 2017 M

Memaknai esensi IdulAdha, Berhaji, dan Berqurban

Dr H Haedar Nashir, M.Si.


اًلسًّلَامُ عًلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اَلْحَمْدُ لِلّ۫هِ الَّذيْ هَدَانَا إِلَى الإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ . وَأَمَرَنَا بِشَرِيْعَةِ نُسُكِ الْحَجِّ إِلَى الْبَيْتِ الْعَتِيْقِ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ. أَشْهَدُ أَنْ لَاإِلَهَ إِلّاَ اَللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ ذُوْ الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ . وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ . اَلْهَادِيْ  إِلَى الصِّرَاطِ الْمُسْتَقِيْمِ .  وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى نَبِيِّـنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْمُتَمَسِّكِيْنَ بِالدِيْنِ الْقَوِيْمِ . أَمَا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَاالْمُسْلِمُوْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ رَحِمَكُمُ اللهُ , أُوصِيْ بِنَفْسِيْ وَإِيَّكُمْ بِتَقْوَى اللهِ حَقَّ تُقَاتِهِ لِتَفُوْزُوْا بِالْجنَّةِ النَّعِيْم , وَالسَّلَامَةِ مِنَ الْعَذَابِ الْأَلِيْمِ . قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ : إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ ۞  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ۞  إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ ۞ [سورة الـكوثر,١-٣]

اَللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ و اَللهُ أَكْبَرُ . اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلّٰهِ الْحَمْدُ . اَللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا. وَاَلْحَمْدُ لِلّٰهِ كَثِيْرًا . وَ سُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلًا .  لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ . صَدَقَ وَعْدَهُ . وَنَصَرَ عَبْدَهُ , وَأَعَزَّ جُنْدَهُ , وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ . لَاإِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَاَللهُ أَكْبَرُ . اَللهُ أَكْبَرُ ولِلّٰهِ الْحَمْدُ .

Alhamdulillah, segala puji dan syukur kita persembahkan ke ha­ribaan Allah Yang Maha Rahman dan Rahim atas segala limpahan nikmat-Nya yang tak terbilang. Shalawat dan salam tercurah ke­pada Nabi Muhammad saw, Rasul akhir zaman yang menjadi uswah hasanah seluruh umat manusia.

Kaum Muslimin Rahimakumullah.
Pagi hari ini, kita kaum mus­limin di seluruh persada Tanah Air, dengan khusyuk dan khidmat menunaikan shalat Idul Adha mengikuti Sunnah Nabi. Semua bertaqarrub kepada Allah dengan kepasrahan diri yang tinggi guna meraih ridla dan karunia-Nya. Kita kumandangkan takbir, tahmid, dan tasbih sebagai wujud kesaksian selaku hamba yang dhaif atas Ke-mahaagungan, Kemahaterpujian, dan Kemahasucian Allah sebagai Khaliq Yang Maha Segalanya.
Pada Hari Raya ini, kaum muslimin juga menunaikan ibadah qurban, menaati perintah Allah dan mengikuti jejak Nabi Ibrahim, sebagai wujud kesyukuran akan nikmat Allah yang tak terhinga sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an:
إِنَّآ أَعۡطَيۡنَٰكَ ٱلۡكَوۡثَرَ ۞  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ ۞  إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ ٱلۡأَبۡتَرُ ۞ [سورة الـكوثر,١-٣]
Artinya : Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.  Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah.  Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
[Qs.Al Kautsar,1-3]

Kaum Muslimin Rahimakumullah.
Ketika umat Islam di negeri ini menjalankan shalat Idul Adha dan berqurban, saudara-saudara kita kaum muslim sedunia sedang menunaikan ibadah haji di tanah suci. Menunaikan shalat Idul Adha, berqurban, dan berhaji ketiganya merupakan amaliah ibadah kepada Allah. Setiap ibadah meski berbe­da rukunnya satu sama lain, pada hakikatnya sama yaitu "bertaqar-rub atau mendekatkan diri kepada Allah" dengan menjalankan segala perintah-perintah-Nya, menjauh­kan larangan-larangan-Nya, dan menunaikan apa yang diidzinkan oleh-Nya.
Penghambaan setiap Muslim dalam mendekatkan diri kepada Allah mengandung makna dan konsekuensi melakukan kepasrahan diri dengan-tulus atau ikhlas hanya karena Allah, bukan karena lainnya. Ajaran kepasrahan diri itu dasar dan muaranya ialah bertauhid, yakni  bertuhan hanya kepada allah dan ti­dak mensekutukan dengan apa pun, yang harus tumbuh kokoh dalam jiwa yang fitrah (asli, murni, suci) setiap orang beriman secara jernih. allah berfirman dalam Al-Qur'an:
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Qs. Ar-Ruum : 30)

Dalam diri setiap manusia itu terdapat jiwa yang cenderung pada kebaikan dan itulah jiwa yang fitrah atau suci yang membawa pada ke­takwaan, sebaliknya terdapat jiwa yang cenderung pada keburukan dan itulah jiwa fuzara sebagaimana firman Allah :
 وَنَفۡسٖ وَمَا سَوَّىٰهَا ٧ فَأَلۡهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقۡوَىٰهَا ٨  قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا ٩ وَقَدۡ خَابَ مَن دَسَّىٰهَا ١٠ [سورة الـشـمـس,٧-١٠]
Artinya: "Dan jiwa serta penyempurnaannya (cip-taannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensuci-kan jiwa itu, dan sesungguhnya me­rugilah orang yang mengotorinya," (QsAsy-Syams: 7-10).

Ibadah yang kita tunaikan termasuk shalat Idul Adha, ber-qurban, dan berhaji harus dapat menyuburkan jiwa ketakwaan sekaligus meredam atau bahkan menghilangkan nafsu keburukan. Karenanya, melalui shalat Idul Adha, berqurban, dan berhaji maka harus ada perubahan perilaku men­jadi semakin bertakwa. Hati, sikap, ucapan, dan tindakan kita harus semakin taat kepada Allah dan ihsan kepada sesama dan dalam kehidupan sehari-hari. Jiwa fitrah yang dihidupkan dengan ibadah dapat menumbuhkan ruhani yang bersih sekaligus meredam hawa nafsu yang selalu menyala dalam diri manusia selaku insan yang hi­dup dalam hukum duniawi menuju kehidupan ukhrawi yang suci dan abadi.

Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah.
Berhaji dan berqurban meng­ajarkan jiwa ikhlas untuk me­nyebarkan nilai kebajikan utama dalam hidup setiap Muslim. Ikhlas merupakan jiwa tunduk yang total kepada Allah SwT sehingga me­lahirkan pribadi yang nirpamrih dalam berbuat kebaikan. Mereka yang hidupnya ikhlas akan mampu membebaskan diri dari hasrat-ha­srat sesaat, seraya melintas batas ke peran-peran utama sarat makna seperti suka menolong, berbagi, dan peduli. Mereka berbuat mulia atas nama Allah untuk ihsan bagi kemanusiaan semesta.
Siapa pun yang berhaji dan ber-qurban dalam ritual Islam sejatinya menambatkan peribatan itu pada niat ikhlas hanya untuk Allah se­mata sebagaimana firman-Nya:
قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ  [سورة الأنعام,١٦٢]
Artinya: "Katakanlah: sesung­guhnya sembahyangku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (Qs Al-An'am: 162).

Ajaran ketulusan ditunjukkan oleh Ibrahim. Siti Hajar, dan putra tercintanya Ismail dalam kisah qurban. Allah mengisahkan dalam Al-Qur'an surat Ash-Shaffat 101-111 :

 فَبَشَّرۡنَٰهُ بِغُلَٰمٍ حَلِيمٖ ١٠١ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ ٱلسَّعۡيَ قَالَ يَٰبُنَيَّ إِنِّيٓ أَرَىٰ فِي ٱلۡمَنَامِ أَنِّيٓ أَذۡبَحُكَ فَٱنظُرۡ مَاذَا تَرَىٰۚ قَالَ يَٰٓأَبَتِ ٱفۡعَلۡ مَا تُؤۡمَرُۖ سَتَجِدُنِيٓ إِن شَآءَ ٱللَّهُ مِنَ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٠٢ فَلَمَّآ أَسۡلَمَا وَتَلَّهُۥ لِلۡجَبِينِ ١٠٣  وَنَٰدَيۡنَٰهُ أَن يَٰٓإِبۡرَٰهِيمُ ١٠٤ قَدۡ صَدَّقۡتَ ٱلرُّءۡيَآۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١٠٥ إِنَّ هَٰذَا لَهُوَ ٱلۡبَلَٰٓؤُاْ ٱلۡمُبِينُ ١٠٦  وَفَدَيۡنَٰهُ بِذِبۡحٍ عَظِيمٖ ١٠٧ وَتَرَكۡنَا عَلَيۡهِ فِي ٱلۡأٓخِرِينَ ١٠٨  سَلَٰمٌ عَلَىٰٓ إِبۡرَٰهِيمَ ١٠٩ كَذَٰلِكَ نَجۡزِي ٱلۡمُحۡسِنِينَ ١١٠  إِنَّهُۥ مِنۡ عِبَادِنَا ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ١١١

101.   Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar
102.   Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar"
103.   Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya)
104.   Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim
105.   sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik
106.   Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata
107.   Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar
108.   Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian
109.   (yaitu)"Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim"
110.   Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik
111.   Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman
 (Qs Ash-Shaffat: 101-111).
Kini kita kaum Muslimin apa­kah hidup kita semakin ikhlas?
Ujian keikhlasan justru terletak ketika harus berhadapan dengan hal-hal yang berat dan tidak menyenangkan, yang mengandung esensi di baliknya sebagai batu uji kesabaran, kesyukuran, dan pengabdian menuju kehidupan penuh makna utama selaku insan bertakwa.

Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah.

Ibadah qurban memang mena­namkan nilai pengorbanan. Nabi Ibrahim, Ismail, dan Siti Hajar memberi teladan terbaik tentang praksis berqurban dengan sepenuh ketakwaan. Allah berfirman:

لَن يَنَالَ ٱللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَآؤُهَا وَلَٰكِن يَنَالُهُ ٱلتَّقۡوَىٰ مِنكُمۡۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمۡ لِتُكَبِّرُواْ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمۡۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٣٧ [سورة الحج,٣٧]

Artinya: "Daging (hewan qur­ban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikian­lah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikan kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik, " (Qs Al-Hajj: 37).

Apalah artinya hanya seekor hewan qurban bila dibandingkan dengan nyawa seorang Ismail yang sangat dicintai kedua orangtuanya. Maukah kita hari ini berqurban dengan seekor hewan qurban? Ke­nyataan kadang menunjukkan, ka­rena kecintaan yang berlebih terha­dap harta, sebagian orang menjadi berat hati untuk berqurban dengan seekor hewan. Di antara kita boleh jadi terasa berat untuk berqurban karena hitung-hitungan uang dan harta, meski untuk seekor hewan. Padahal betapa tinggi makna dan fungsi dari ibadah qurban itu baik bagi pelaku maupun umat sesama.
Ibadah qurban mengajarkan makna amal shaleh dan ihsan. Se­tiap insan beriman yang memiliki kelebihan rizki dan akses kehidup­an dia niscaya untuk peduli dan berbagi bagi sesama yang membu­tuhkan tanpa diskriminasi.
Si kaya berbagi rizki untuk si miskin. Kaum cerdik pandai berbagi ilmu kepada yang awam. Sesama manusia saling menjujung tinggi martabat. Laki-laki dan pe­rempuan saling menghormati dan memuliakan. Siapa pun yang diberi akses kekuasaan dan kekayaan yang lebih sedangkan dia beriman maka harus rela hati berkurban bagi sesama, lebih-lebih bagi mereka yang membutuhkan. Semuanya dilandasi spirit pengorbanan yang memiliki dasar pada ajaran Ilahi, yang melahirkan tindakan-tindakan berbagi dan peduli pada sesama yang mencerahkan. Menurut ajaran Nabi, "Wa-llahifiy 'auni al-'abdi maa daama al- 'abdu fiy 'auni akhi-hi", bahwa Allah berada di tengah para hamba sejauh hamba-hamba itu membela sesamanya.
Para elite dan warga di negeri yang mengaku insan beriman di mana pun berada perlu memgambil makna hakiki dari ajaran ketulus­an, cinta, dan pengorbanan Ibra­him, Ismail, dan Siti Hajar sebagai model perilaku emas yang mene­bar keutamaan bagi seluruh umat manusia. Adanya segelintir orang atau kelompok yang menguasai mayoritas kekayaan negara dan menyebabkan kesenjangan sosial merupakan bukti lemahnya jiwa berkurban di tubuh bangsa ini. Lu­ruhnya jiwa kenegarawanan yang ditandai kian menguatnya kebiasa­an mengutamakan kepentingan diri dan kroni di atas kepentingan publik boleh jadi karena makin terkikisnya jiwa ikhlas berkorban sebagai kanopi suci yang diajarkan para Nabi Allah yang kaya mozaik spiritual Ilahiah itu.
Dalam kehidupan umat dan bangsa sungguh diperlukan jiwa berkurban berbasis iman untuk tegaknya kebenaran, kebaikan, kemajuan, dan segala keutamaan. Termasuk bagi mereka yang sela­ma ini memiliki amanat kekuasaan dan memiliki kekayaan berlebih untuk berkurban demi kesejahtera­an rakyat yang masih dilanda kehi­dupan yang dhu 'afa-mustadh 'afin di negeri ini. Tanpa pengurbanan dengan jiwa, pikiran, perasaan, dan perbuatan yang tulus dan utama dari para elite dan warga bangsa maka tidak mungkin tercipta kehidup­an yang baik dan maju di tubuh bangsa ini dalam bingkai Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur.

Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah.
Ibadah haji dan qurban juga mengajarkan sifat cinta, yakni kasih sayang atau welas asih yang jernih terhadap sesama sebagai perwujudan cinta kepada Allah. Nabi Ibrahim, Isa, Muhammad, dan para Rasul kekasih Allah mempraktikan hidup kasih sayang itu terhadap sesama tanpa diskri­minasi. Nabi Ibrahim sempat minta kepada Tuhan agar umat Nabi Luth yang durhaka tidak diberi azab. Sifat welas asih Nabi yang satu ini diabadikan dalam Al-Qur'an:
إِنَّ إِبۡرَٰهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّٰهٞ مُّنِيبٞ ٧٥ [سورة هود,٧٥]
Artinya: "Sesungguhnya Ibra­him itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah, ". (Qs Hud: 75).

Para Nabi Utusan Allah itu sa­ngatlah berjiwa kasih sayang. Nabi Muhammad ketika dilempari batu oleh kaum Thaif tatkala hijrah, be­liau berkeberatan pada saat Malai­kat Jibril menawarinya agar mereka yang melukainya itu diberi azab. "Jangan, mereka sungguh kaum yang belum mengerti", ujar Nabi akhir zaman itu. Dalam Haditsnya beliau bersabda, yang artinya: "Ti­daklah beriman seseorang hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri, " (HR Muslim). Rahmat Allah pun terlim­pah bagi para hamba yang mene­barkan kasih sayang di muka bumi.
Pada saat ini tidak sedikit manusia tejangkiti virus egoisme, yakni sikap hanya mementingkan diri dan kelompok sendiri. Demi kepentingan golongan sendiri rela mengorbankan kepentingan sesama, bahkan terhadap sesama seiman. Aji mumpung kekuasaan tumbuh di mana-mana.
Sebagian orang beriman pun atas nama agama dan kebenaran tidak sedikit menjadi ringan ta­ngan berbuat kekerasan, sehingga kehilangan watak kasih sayangnya terhadap sesama. Agama dan je­jak Nabi yang mengajarkan kasih sayang dan kedamaian hanya menjadi ujaran dan retorika indah, sering tidak menjadi pola tindak dan keteladanan dalam kehidupan umat beragama. Sejatinya seluruh ibadah menjadikan kita semakin dekat dengan Allah dan berbuat kebaikan bagi sesama dalam jalin­an habluminallah dan habluminan-nas yang harmonis.  Sebagaimana firman Allah:
ضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيۡنَ مَا ثُقِفُوٓاْ إِلَّا بِحَبۡلٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبۡلٖ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتۡ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَسۡكَنَةُۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ يَكۡفُرُونَ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ وَيَقۡتُلُونَ ٱلۡأَنۢبِيَآءَ بِغَيۡرِ حَقّٖۚ ذَٰلِكَ بِمَا عَصَواْ وَّكَانُواْ يَعۡتَدُونَ ١١٢ [سورة آل عمران,١١٢]

Artinya: "Mereka diliputi kehi­naan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demiki­an itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang be­nar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas, " (Qs Ali Imran: 112).

Jamaah Shalat Idul Adha Rahimakumullah.
Di akhir khutbah ini marilah kita berdoa agar shalat Idul Adha, ibadah qurban, serta segenap iba­dah kita selaku Muslim melahirkan kehidupan yang khusyuk, baik, dan utama. Kita bermunajat kepada Allah agar hidup di dunia ini senantiasa berada di jalan-Nya, beribadah dan menjalankan tugas kekhalifahan dalam bimbingan-Nya, serta di akhirat kelak men­jadi penghuni Jannatun Na 'im dalam ridha dan Karunia-Nya. Amin ya Rabb al-'Alamin.*
أَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ .  وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلٰى نَبِيِّـنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ .
اَللّٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ . وَالْمَؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ . الْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالْأَمْوَاتِ . إِنَّكَ سَمِيْعٌ قَرِيْبٌ مُجِيْبُ الدّعْوَاتِ , فَيَاقَاضِيَ الْحَجَاتِ .
اَللّٰهُمَّ اِنَّا نَسْأَلُكَ سَلاَمَةً فِى الدِّيْنِ وَعَافِيَةً فِى الْجَسَدِ وَزِيَادَةً فِى الْعِلْمِ وَبَرَكَةً فِى الرِّزْقِ وَتَوْبَةً قَبْلَ الْمَوْتِ وَرَحْمَةً عِنْدَ الْمَوْتِ وَمَغْفِرَةً بَعْدَ الْمَوْتِ اَللّٰهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا فِيْ سَكَرَاتِ الْمَوْتِ، وَنَجَاةً مِنَ النَّارِوَالْعَفْوَعِنْدَالْحِسَابِ
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ . رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامً . رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ  وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ  وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ .


Sumber : SUARA MUHAMMADIYAH 16 / 102 I 23 DZULOA'DAH - 8 DZULHIJJAH 1438 H, Halaman 35  - 38.

Thursday, 20 April 2017

TAFSIR RAWAI'UL BAYAN : MEMBACA FATIHAH DALAM SHALAT

MATERI  KAJIAN RUTIN PEB 2017
KITAB RAWAI’UL BAYAN
الحكم الثالث: هل تجب قراءة الفاتحة في الصلاة؟
Hukum ke-TIGA : Apakah Wajib membaca Al-Fatihah dalam sholat?
اختلف الفقهاء في حكم قراءة فاتحة الكتاب في الصلاة على مذهبين:
Para Ahli Fiqh berbeda pendapat dalam masalah hukum membaca Al-Fatihah dalam Sholat, terbagi pada 2 Madzhab :
أ - مذهب الجمهور (مالك والشافعي وأحمد) أن قراءة الفاتحة شرط لصحة الصلاة، فمن تركها مع القدرة عليها لم تصحّ صلاته.
A.   Madzhab Jumhur (Malik, Syafi’i dan Ahmad), bahwa membaca Al-Fatihah adalah syarat sah sholat. Maka siapa yang meninggalkannya (tidak membaca Al-Fatihah)  padahal ia mampu (untuk membacanya) maka tidaksah sholatnya.
ب - مذهب الثوري وأبي حنيفة: أن الصلاة تجزئ بدون فاتحة الكتاب مع الإساءة ولا تبطل صلاته، بل الواجب مطلق القراءة وأقله ثلاث آيات قصار،
أو آية طويلة.
B.    Madzhab Ats-Tsauri dan Abu Hanifah : Bahwa Sholat boleh (bukan pelanggaran) tanpa (membaca Al-Fatihah, dan tidak batal shalatnya. Tetapi yang wajib muthlak adalah membaca sedikitnya 3 ayat pendek atau satu ayat yang panjang.
أدلة الجمهور:
DALIL JUMHUR :
استدل الجمهور على وجوب قراءة الفاتحة بما يلي:
Jumhur mengambil dalil atas wajibnya membaca Al-Fatihah sebagai berikut:
أولاً: حديث عُبادة بن الصامت وهو قوله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ: «لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب» .
PERTAMA : Hadits Ubadah Bin Shamit, dan ini adalah sabda Rasulullah SAW : “Tidak (dianggap) shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”  (Pen: Lihat HR. Bukhari : 714, HR. Muslim : 595, Hadits Abu Daud : 700, HR. Tirmidzi : 230, HR. Nasa'i : 901, Musnad Ahamd : 21621)
ثانياً: حديث أبي هريرة أن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: «قال من صلّى
صلاة لم يقرأ فيها بأمّ الكتاب فهيِ
خِداج فهي خِداج، فهي خداج غير تمام»
KEDUA : Hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Siapa Yang sholat tidak membaca Ummul Kitab (Al-Fatihah) maka ia tidak sempurna, tidak sempurna, tidak sempurna”.
(Pen;  Lihat H. Malik : 174, HR. Muslim : 598, HR. ABU Daud : 698, Sunan Turmudzi : 287, S.Ibn Majah : 829,HR. Ahmad : 6990)
ثالثاً: حديث أبي سعيد الخدري: «أمرنا أن نقرأ بفاتحة الكتاب وما تيسّر» .
KETIGA : Hadits Abu Sa’id al-Khudry : “Rasul memerintahkan kita untuk membaca Al-Fatihah dan apa (surat) Yang mudah”. (Pen . Sunan Abu Daud: 695).
قالوا: فهذه الآثار كلّها تدل على وجوب قراءة الفاتحة في الصلاة، فإنّ قوله صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: «لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب»يدل على نفي الصحة
Mereka berkata : “hadits-hadits yang tadi disebut semuanya menunjukkan  wajibnya membaca Al-Fatihah dalam Sholat, maka sesungguhnya Sabda Rasul SAW: “Tidak (sah) shalat bagi yang tidak mmembaca Fatihatul Kitab”. Menunjukkan tidak sah  shalat.
وكذلك حديث أبي هريرة فهي خِداج قالها عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ ثلاثاً يدل على عل النقص والفساد، فوجب أن تكون قراءة الفاتحة شرطاً لصحة الصلاة.
Begitu pula Hadits Abu Hurairah; Rasulullah mengatakan خداج  sampai tiga kali bahwa itu menunjukan kurang (tidak sempurna) dan Fasad (rusak) nya sholat. Maka wajib untuk membaca  Al-Fatihah sebagai syarat sahnya shalat.

أدلة الحنفية:
استدل الثوري وفقهاء الحنفية على صحة الصلاة بغير قراءة الفاتحة بأدلة من الكتاب والسنّة.
أمّا الكتاب: فقوله تعالى: {فاقرءوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ القرآن} [المزمل: 20]
Dalil-dali Hanafiyah :
Ats-Tsauri dan Fuqaha Hanafiyah memberikan dalil tentang sahnya shalat tanpa membaca Al-Fatihah dengan dalil dari Al-Quran dan As-Sunnah.
Dari Kitab (Al-Quran): Firman Allah :  “Maka Bacalah oleh kalian apa yang mudah dari Al-Quran “ (QS.73.Muzamil : 20).
قالوا: فهذا يدل على أن الواجب أن يقرأ أي شيء تيسّر من القرآن، لأن الآية وردت في القراءة في الصلاة بدليل قوله تعالى: {إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أدنى مِن ثُلُثَيِ الليل} إلى قوله: {فاقرءوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ القرآن} [المزمل: 20]
Mereka (Hanafiyah) berkata :  “Ini menunjukkan bahwanya wajib untuk membaca apa saja yang mudah dari Al-Quran, karena ayat tersebut berkaitan dengan bacaan dalam shalat  ditunjukan dengan Firman Allah :  “Sesungguhnya Tuhan-mu Mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam,”  sampai Firman-Nya : “ karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Quran” (QS.73.Muzamil : 20).
ولم تختلف الأمة أن ذلك في شأن الصلاة في الليل، وذلك عموم عندنا في صلاة الليل وغيرها من النوافل والفرائض لعموم اللفظ
Dan Ummat tidak berbeda pendapat, bahwa  ayat tersebut berkaitan dengan maslah shalat  malam, (akan tetapi)  pendapat kami secara umum   ayat tersebut berkaitan dengan shalat  malam dan (juga) selain shalat malam, shalat sunnah maupun shalat wajib, berdasarkan keumuman  Lafadz.
وأما السنّة: فما روي عن أبي هريرة رَضِيَ اللَّهُ عَنْه «أن رجلاً دخل المسجد فصلّى، ثم جاء فسلّم على النبيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ فردّ عليه السلام وقال:» ارجع فصلّ فإنك لم تصل «فصلّى ثم جاء فأمره بالرجوع، حتى فعل ذلك ثلاث مرات، فقال: والذي بعثك بالحق ما أُحْسنُ غيره، فقال عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ:» إذا قمتَ إلى الصلاة فأسبغ الوضوء، ثمّ استقبل القبلة فكبّر، ثم اسجد حتى تطمئن ساجداً، ثم ارفع حتى تطمئن جالساً، ثم اسجد حتى تطمئن ساجداً، ثم ارفع حتى تستوي قائماً، ثمّ فاعل ذلك في صلاتك كلها «»
Adapun (dalil) dari As-Sunah :
Apa yang diriwayatkan  dari Abu Hurairah RA ; “bahwasanya seseorang memasuki Masjid lalu shalat, setelah itu mendatangi dan memberi salam kepada  Nabi SAW, beliau menjawab salam dan berkata: “Kembali (ulangi) lalu shalatlah kamu, sesungguhnya kamu belum shalat “, maka orang tersebut shalat lalu datang lagi ke Nabi, maka beliau memerintahkan orang tersebut untuk mengulanginya, sampai tiga kali. Orang tersebut bertanya: “Demi Yang mengutusmu dengan Hak, apa yang salah?” Beliau bersabda  : “Bila kamu melaksanakan shalat maka sempurnakan wudlu, kemudian menghadap kiblat, lalu bertakbirlah, kemudian sujudlah sampai tuma’ninah sujudnya, lalu bangkitlah duduk dengan tu’maninah, kemudian sujudlah dengan tumaninah dan bangunlah berdiri dengan lurus, lantas lakukanlah hal yang serupa tadi dalam (rakaat lainnya) shalatmu”.
قالوا: فحديث أبي هريرة في تعليم الرجل صلاته يدل على التخيير (اقرأ ما تيسّر معك من القرآن) ويقوّي ما ذهبنا إليه، وما دلت عليه الآية الكريمة من جواز قراءة أي شيء من القرآن.
Mereka berkata :  Maka Hadits Abu Hurairah tentang  Pembelajaran Shalat seorang Menunjukan     akan  alternatif  (pilihan)  (bacalah apa yang  mudah   dari  Al-Quran), dan ini  memperkuat   paham (madzhab) kami, dan  apa yang telah ditunjukan oleh ayat Al-Quran   akan bolehnya membaca sesuatu  (bagian) ayat Al-Quran.
وأما حديث عبادة بن الصامت: فقد حملوه على نفي الكمال، لا على نفي الحقيقة، ومعناه عندهم (لا صلاة كاملة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب) ولذلك قالوا: تصح الصلاة مع الكراهية، وقالوا هذا الحديث يشبه قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: «لا صلاة لجار المسجد إلاّ في المسجد»
Adapun Hadits  Ubadah Bin  Shamit, memiliki makna  ketidak-sempurnaan  shalat , bukan  dalam arti  yang sebenarnya (tdak dianggap shalat).  Artinya  dalam paham mereka  : “Tidak lah sempurna shalat  bagi yang tidak membaca   Al-Fatihah . Karena itulah mereka  mengatakan  :  “Shalat nya sah  walaupun makruh” . Mereka mengatakan Hadits ini  serupa dengan   sabda  SAW : “Tidak (sempurna) shalat  bagi tetangga Masjid, kecuali   (ia shalat) di Masjid”.
وأما حديث أبي هريرة: (فهي خداج، فهي خداج) الخ فقالوا: فيه ما يدلّ لنا لأنّ (الخداج) الناقصة، وهذا يدل على جوازها مع النقصان، لأنها لو لم تكن جائزة لما أُطلق عليها اسم النقصان، لأن إثباتها ناقصة ينفي بطلانها، إذ لا يجوز الوصف بالنقصان للشيء الباطل الذي لم يثبت منه شيء.
Adapun Hadits yang diriwiyatkan Abu Hurairah dengan redaksi: maka shalatnya Khidaj,. Maka mereka berkata: Ini menunjukkan bahwa (kata khidaj) berarti kurang (tidak semprna), menunjukkan bolehnya shalat tidak membaca Al-Fatihah meskipun dinilai kurang. Jika tidak boleh tentu tidak akan dinilai kurang.  Karena penilaian semacam itu berarti meniadakan  batalnya shalat. Sesuatu yang berpredikat batal  dan yang tidak berdampak hukum tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang tidak sempurna.
هذه هي خلاصة أدلة الفريقين: سردناها لك بإيجاز، وأنت إذا أمعنتَ النظر، رأيت أنّ ما ذهب إليه الجمهور أقوى دليلاً، وأقوى قيلاً،
Demikianlah ringkasan dalil-dalil  dari kedua kelompok yang kami sajikan kepada Anda secara ringkas. Jika Anda memperhatikan dengan sungguh-sungguh maka Anda akan tahu bahwa pendapat Jumhur ulama yang lebih kuat dalilnya dan lebih mengena.
فإنّ مواظبته عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ على قراءتها في الفريضة والنفل، ومواظبة أصحابه الكرام عليها دليل على أنه لا تجزئ الصلاة بدونها، وقد عضد ذلك الأحاديث الصريحة الصحيحة،
Nabi SAW  terus menerus membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu dan sunnah, demikian juga para Sahabat beliau yang mulia, adalah dalil yang menunjukkan bahwa shalat tidak sah tanpa membaca Al-Fatihah. Dan diperkuat dengan hadits-Hadits yang jelas dan shaohih.
والنبي عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ مهمته التوضيح والبيان، لما أجمل من معاني القرآن، فيكفي حجّة لفريضتها ووجوبها قولُه وفعله عليه السلام.
Nabi SAW juga berfungsi sebagai  penerang dan penjelas dari makna ayat Al-Quran yang masih global. Maka ucapan dan perbuatan Nabi SAW sudah cukup sebagai hujah bagi kewajiban membaca Al-Fatihah dalam shalat.
وممّا يؤيد رأي الجمهور ما رواه مسلم عن أبي قتادة أنه قال: «كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ يصلّي بنا فيقرأ في الظهر والعصر في الركعتين الأوليَيْن بفاتحة الكتاب وسورتين، ويُسمعنا الآية أحياناً، وكان يطوّل في الركعة الأولى من الظهر، ويقصر الثانية، وكذلك في الصبح» .
Ada lagi yang menguatkan pendapat Jumhur adalah apa yang diriwayatkan Imam Muslim dari Abu Qatadah, Ia (Abu Qatadah) berkata : Rasulullah shalat bersama kami, maka beliau membaca Al-Fatihah dan surat  pada 2 Rakaat awal dari shalat Dhuhur dan Ashar, terkadang beliau mem-perdengarkan ayat kepada kami. Beliau membaca ayat pada raka’at pertama lebih panjang dibandingkan di raka’at ke dua saat shalat dhuhur. Demikian pula saat Shalat Subuh”.
وفي رواية: «ويقرأ في الركعتين الأخريين بفاتحة الكتاب»
Dalam suatu riwayat : “Beliau membaca Al-Fatihah  di dua raka’at terakhir (rakaat ke-3 dan ke-4).
قال الطبري: يقرأ بأم القرأن في كل ركعة، فإن لم يقرأ بها لم يجزه إلا مثلها من القرآن عدد آياتها وحروفها.
At-Thabari berkata : Membaca  Ummul Qur’an (Al-Fatihah) (harus) di setiap rakaat, maka jika tidak membacanya tidak diperbolehkan kecuali ia membaca ayat semisal Al-Fatihah baik jumlah ayatnya maupun hurufnya.
قال القرطبي: والصحيح من هذه لأقوال، قولُ الشافعي وأحمد ومالك في القول الآخر، وأن الفاتحة متعينة في كل ركعةٍ لكل أحدٍ على العموم لقوله عَلَيْهِ الصَّلَاة وَالسَّلَام ُ:«لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب»
Al-Qurthubi berkata:  Pendapat ini yang benar;  pendapat Syafi’i, Ahmad dan Malik, Pendapat terakhir. Bahwa membaca Al-Fatihah adalah  Fardu ‘Ain pada setiap raka'at  berdasarkan keumuman Sabda Nabi SAW : “Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah”.
وقد روي عن عمر بن الخطاب، وعبد الله بن عباس، وأبي هريرة، وأُبِيّ بن كعب، وأبي أيوب الأنصاري، وعبادة بن الصامت، وأبي سعيد الخدري أنهم قالوا: «لا صلاة إلا بفاتحة الكتاب» فهؤلاء الصحابة القُدرةوفيهم الأسوة، كُلّهم يوحبون الفاتحة في كل ركعة  
Dan sungguh diriwiyatkan dari Umar bin Khatab, Abdullah Bin Abbas, Abu Hurairah, Ubay Bin Ka’ab, Abu Ayyub Al-Anshari, Ubadah bin Shamit dan Abi Sa’id al-Khudry, mereka berkata: Tidak (sah) shalat kecuali (dengan membaca) Al-Fatihah.” Mereka menjadi panutan dan teladan. Mereka semua mewajibkan Al-Fatihah di setiap raka'at.
قال الإمام الفخر: «إنه عليه السلام واظب طول عمره على قراءة الفاتحة في الصلاة، فوجب أن يجب علينا ذلك لقوله تعالى: {واتبعوه لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ} [الأعراف: 158]
Berkata Imam Fakhr Ar-Razi : “Sesungguhnya  Nabi SAW selalu membaca Al-Fatihah dalam shalat sepanjang hidupnya. Maka wajiblah atas kita untuk mengikutinya, karena Allah SWT berfirman: “Dan ikutilah dia (Muhammad) supaya kamu menddapat petunjuk”. (QS.7.Al-a"raf : 158)”.
ويا لَلْعجب من أبي حنيفة فإنه تمسّك في وجوب (مسح الناصية) بخبر واحد وذلك ما رواه المغيرة بن شعبة رَضِيَ اللَّهُ عَنْه عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه أتى سُباطة قوم فبال وتوضأ، ومسح على ناصيته وخفيه،
Dan sangat janggal (mengherankan) (pendapat) Abu Hanifah, bahwa mengusap ubun-ubun menjadi suatu kewajiban (dalam berwudhu) bedasarkan Hadits Ahad, yaitu Hadits riwayat Al-Mughirah Bin Syu’bah R.A  dari Nabi SAW bahwa Nabi mendatangi tempat buang hajat, lantas beliau kencing dan lalu berwudlu, beliau mengusap ubun-ubun dan kedua kasutnya.
في (أنه عليه السلام مسح على الناصية) فجعل ذلك القدر من المسح شرطاً لصحة الصلاة!
Berdasarkan Hadits ini (Nabi mengusap ubun-ubun) beliau (Abu Hanifah) menetapkan keharusan mengusap ubun-ubun sebagai sarat untuk sahnya shalat, (yaitu bersuci, wudlu).
{وهاهنا نقل أهلُ العلم نقلاً متواتراً أنه
 عليه السلام واظب طول عمره على قراءة الفاتحة، ثمّ قال: إن صحة الصلاة غير موقوفة عليها، وهذا من العجائب}»
Sementara, di sini para ulama meriwayatkan secara mutawatir bahwa Nabi SAW selalu membaca surah Al-Fatihah tanpa meninggalkan sekalipun. Sungguh ini sangat mengherankan.
(h. 57)
الحكم الرابع: هل يقرأ المأموم خلف الإمام؟
Hukum yang ke-4 : Apakah ma’mum membaca (Al-Fatihah) di belakang Imam?
اتفق العلماء على أن المأموم إذا أدرك الإمام راكعاً فإنه يحمل عنه القراءة، لإجماعهم على سقوط القراءة عنه بركوع الإمام، وأمّا إذا أدركه قائماً فهل يقرأ خلفه أم تكفيه قراءة الإمام؟ اختلف العلماء في ذلك على أقوال:
Telah sepakat para ulama bahwa ma’mum kalau ia mendapatkan imam sedang ruku (ma’mum ruku bersama Imam) maka ia ma’mum (dianggap) telah mendapatkan bacaan (Al-Fatihah).  Ulama bersepakat atas gugurnya bacaan ma’mum tatkala mendapatkan rukunya Imam. Akan tetapi,  apabila ma'mum mendapatkan imam berdiri  apakah bacaan imam telah cukup untuk menggantikannya, atau apakah ma'mum juga harus membaca? Dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat dalam beberapa pendapat berikut:
أ - فذهب الشافعي وأحمد: إلى وجوب قراءة الفاتحة خلف الإمام سواء كانت الصلاة سرّية أم جهرية.
 
a.    Imam Syafi’i dan Ahmad berpendapat : Wajib membaca Al-Fatihah di belakang Imam, baik pada shalat Siiriyah maupun shalat Jahriyah.
ب - وذهب مالك إلى أن الصلاة إذا كانت سرّية قرأ خلف الإمام، ولا يقرأ في الجهرية.
b.    Imam Malik berpendapat : Bila shalat Sirriyah, maka ma'mum membaca Al-Fatihah di belakang Imam, tetapi tidak membaca Al-Fatihah pada shalat sirriyah.
ج - وذهب أبو حنيفة: إلى أنه لا يقرأ خلف الإمام لا في السرية ولا في الجهرية.
c.     Abu Hanifah berpendapat : tidak membaca Al-Fatihah di belakang Imam, baik saat shalat sirriyah ataupun shalat jahriyah.
استدل الشافعية والحنابلة المتقدم
 وهو قوله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ:
«لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب»
Madzhab Syafi'i dan Hambali menda-sarkan dalil pada Hadits terdahulu; “Tidak ada shalat (yang sah) bagi yang tak membaca Al-Fatihah”.
 فإن اللفظ عام يشمل الإمام والمأموم، سواء كانت الصلاة سرية جهرية، فمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب لم تصحّ صلاته.
Lafadz tersebut bersifat am (umum) mencakup imam dan ma'mum, sama saja baik shalat sirriyah atau jahriyah. Maka siapa yang tidak membaca Al-Fatihah tidak sah shalatnya.
واستدل الإمام مالك: على قراءة الفاتحة إذا كانت الصلاة سرّية بالحديث المذكور، ومنع من القراءة خلف الإمام إذا كانت الصلاة جهرية لقوله تعالى: {وَإِذَا قُرِىءَ القرآن فاستمعوا لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ} [الأعراف: 204]
Imam Malik berdalil : membaca Al-Fatihah bila shalat sirriyah berdasrkan Hadits di atas, dan terlarang (bagi ma'mum) membacanya di belakang Imam saat shalat Jahriyyah, karena Firman Allah : “Dan Apabila dibacakan Al-Quran maka dengarkanlah baik-baik dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat”. (QS.7.Al-a"raf : 204).
وقد نقل القرطبي: عن الإمام مالك أنه لا يقرأ في الجهرية بشيء من القرآن خلف الإمام، وأمّا في السرّية فيقرأ بفاتحة الكتاب، فإن ترك قراءتها فقد أساء ولا شيء عليه
Al-Qurtubi menukil dari Imam Malik bahwanya (ma'mum) tidak membaca ayat Al-Quran apapun saat shalat jahriyah di belakang Imam, adapun saat shalat sirriyah, maka membaca Al-Fatihah. Bila tidak membacanya maka ini kurang baik (jelek) walaupun tidak apa-apa.
وأمّا الإمام أبو حنيفة: فقد منع من القراءة خلف الإمام مطلقاً عملاً بالآية الكريمة {وَإِذَا قُرِىءَ القرآن فاستمعوا} [الأعراف: 204] ولحديث «من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة»
Adapun Imam Abu Hanifah: ma'mum dilarang membaca ayat Al-Quran manapun secara mutlak di belakang Imam berdasarkan ayat : “Dan Apabila dibacakan Al-Quran maka dengarkanlah”    dan Hadits : “Siapa yang memiliki imam, maka bacaan Imamnya adalah bacaannya”.
واستدل أيضاً بما روي عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أنه قال:«إنما جعل الإمام ليؤتم به، فإذا كبّر فكبروا، وإذا قرأ فأنصتوا»
Beliau berdalil juga dengan Hadits  dari Nabi SAW bersabda : “Dijadikan Imam hanyalah untuk diikuti, apabila ia bertakbir maka bertakbirlah, apabila ia membaca maka dengarkanlah”.

---- === ----