google

Monday, 25 November 2019

DO’A BERSAMA DAN SALAM LINTAS AGAMA Oleh : Nasudi


DO’A BERSAMA DAN SALAM LINTAS AGAMA
Oleh : Nasudi
(Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Kab. Tegal )

Ada video yang sempat viral dan kontroversial saat upacara Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober 2019 yang dilakukan oleh  karyawan Garuda Indonesia.  Disana ada pembacaan do’a yang dipimpin oleh seorang karyawati dengan menggunakan do'a secara agama Nasrani (Non Islam) padahal boleh jadi peserta upacara tidak semua penganut Nasrani. (lihat Video : https:// www.youtube.com/watch?v=z9yRXv7sk3o).
Saat Sidang Paripurna Akhir masa Jabatan MPR Periode 2014 – 2019 (Jum'at 27 September 2019) juga sempat viral berita bahwa untuk petugas do'a  yang tadinya akan dilakukan oleh seorang ketua Partai yang bergama Islam, oleh sebuah Partai mengusulkan petugas yang beragama Non Islam. Karena terjadi perundingan yang cukup  alot, sampai batas waktunya tidak ada keputusan, maka ketua MPR sendirilah yang akhirnya memipin do'a. (Lihat : https://nasional.kompas.com/read /2019/09/27/18131551/klarifikasi-zulkifli-hasan-soal-insiden-ambil-alih-doa-di-sidang-mpr? page=all). 
Dua peristiwa itu hanyalah contoh peristiwa yang kemudian menjadi pertanyaan sebagian masyarakat (khususnya muslim) tentang hukum do'a bersama dan bagaimana sikap seorang muslim ketika menghadapi acara-acara (Upacara) yang di dalamnya pesertanya terdiri dari berbagai macam penganut agama yang berbeda.
Belakangan juga kita seringkali mendengar dan menyaksikan beberapa pejabat yang saat membuka  pidatonya dengan mengucapkan beberapa salam, tidak cukup dengan ucapan “Assalamu’alaikum wr. Wb.” Tetapi juga dilanjutkan dengan ucapan salam lainnya seperti :  Salam sejahtera bagi kita semua”, “Om Swasti Atsu”, “Namo Buddaya”, “Salom”. Salam-salam tersebut orang banyak menyebutnya dengan “SALAM LINTAS AGAMA”. Melihat kebiasaaan baru ini banyak orang muslm yang bertanya-tanya patutkah bagi para pejabat yang muslim mengucapan salam lintas agama tersebut? Tidak cukupkah dengan ungkapan 1 salam saja? Apakah mengucapkan satu salam saja berarti tidak torensi? Hal tersebut yang kemudian dirasa perlu adanya fatwa tentang hukum salam lintas agama.
Pada uraian berikut ini akan dipaparkan bagaimana sikap pandangan tentang do'a bersama dan salam lintas agama. Sebatas pengetahuan penulis Majlis tarjih memang belum memberikan fatwa secara tersurat baik dalam putusan-putusan tarjih maupun fatwa-fatwa tarjih. 

Bolehkah mengaminkan do'a orang kafir (non muslim)?

Tentang kebolehan mengaminkan do'a orang kafir para ulama memang ada perbedaan pendapat. Ustad Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com) menuliskan ada 2 pendapat :

Pendapat pertama, mengaminkan do'a orang kafir dilarang.
Ini pendapat Abul Mahasin ar-Ruyani – ulama Syafi’iyah; Beliau berdalil dengan firman Allah,
وَمَا دُعَاءُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ
Doa (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka. (QS. ar-Ra’du: 14)

Ar-Ruyani mengatakan,
قال الروياني: لا يجوز التأمين على دعاء الكافر لأنه غير مقبول، أي لقوله تعالى
Tidak boleh mengaminkan doa orang kafir, karena doa mereka tidak maqbul. Berdasarkan firman Allah – Ta’ala – .. (kemudian beliau menyebutkan ayat di atas). (Futuhat al-Wahhab, 2/119)

Akan tetapi pendapat ini banyak disanggah. Para ulama menilai pendapat beliau dan dalil beliau kurang tepat. Sulaiman bin manshur al-Jamal – ulama Syafiiyah – dalam Hasyiyahnya mengatakan,
ونوزع فيه بأنه قد يستجاب لهم استدراجا كما استجيب لإبليس
Kami menyanggah apa yang diutarakan, bahwa terkadang doa mereka diijabahi sebagai bentuk istidraj, sebagaimana permintaan Iblis dikabulkan. (Futuhat al-Wahhab, 2/119)
Dr. Jailan bin Hadhar al-Arusi dalam tesisnya – ad-Dua wa Manzilatuhu fi al-Aqidah al-Islamiyah – mengatakan,
إن إجابة الدعاء من مقتضى الربوبية وهي شاملة للخلق مؤمنهم وكافرهم، فهو يربيهم بالنعم، ومنها إجابة الدعاء وإغاثة الملهوف وإعانة المكروب وإزالة الشدائد وكشف الكربات
Masalah dikabulkannya doa itu bagia dari sifat rububiyah Allah (perbuatan Allah kepada makhluk-Nya). Dan itu mencakup seluruh makhluk-Nya, yang mukmin maupun yang kafir. Allah mengatur mereka dengan semua nikmat-Nya, termasuk mengabulkan doa, membantu orang yang kesusahan, menolong orang yang dalam bahaya, dan menghilangkan bencana.
Lalu beliau mengutip firman Allah,
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam urusan. (QS. ar-Rahman: 29)
Dr. Jailan melanjutkan,
ثم إن الله تعالى قد أجاب دعوة شر خلقه وهو إبليس، قال سفيان بن عيينة ـ رحمه الله: لا يمنعنَّ أحدًا الدُّعاءُ ما يعلمُ في نفسه (يعني من التقصير) فإنّ الله قد أجابَ دعاءَ شرِّ خلقهِ وهُو إِبليس حِينَ قَال رَبّ أَنظِرنِي إِلى يَومِ يُبعَثُون
Sesungguhnya Allah telah mengabulkan doa makhluk yang paling jahat, yaitu Iblis. Sufyan bin Uyainah – rahimahullah – mengatakan, “Jangan sampai kekurangan yang ada pada diri kita menghalangi kita untuk berdoa. Karena Allah telah mengabulkan doa makhluk yang paling jahat yaitu Iblis, ketika dia meminta, ‘Ya Allah, tungguhlah aku sampai hari kebangkitan.’”
Perkataan Sufyan bin Uyainah dinukil oleh al-Hafidz dalam Fathul Bari, 11/140.
Sementara permintaan Iblis disebutkan dalam al-Quran surat al-A’raf: 14.
Mengabulkan doa itu hak Allah, yang mengatur seluruh alam dan yang mencukupi rizki mereka. Imam as-Sa’di mengatakan,
ومن براهين وحدانية الباري وربوبيته إجابته للدعوات في جميع الأوقات، فلا يحصي الخلق ما يعطيه للسائلين وما يجيب به أدعية الداعين من بر وفاجر ومسلم وكافر
Bagian dari bukti keesaan Sang Pencipta dan Rububiyah-Nya adalah Dia mengabulkan doa sepanjang waktu. Tidak ada makhluk yang bisa menghitung berapa yang telah Allah berikan kepada orang yang meminta, dan berapa doa hamba yang Dia kabulkan, baik doa dari orang baik, orang jahat, muslim, maupun kafir.
Pendapat Kedua, boleh mengaminkan doa orang kafir
Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Hanya saja mereka memberikan persyaratan:
[1] Doa orang kafir ini diarahkan kepada ALLAH dan BUKAN kepada al-Masih ata makhluk lainnya. Misalnya dia mengucapkan, “Semoga Tuhan memberkahi anda..” karena seorang muslim tidak boleh menyetujui kesyirikan.
[2] Jangan sampai amin kita memicu penilaian bahwa kita memuliakan orang kafir, karena mengaminkan doa mereka atau sangkaan bahwa kita membenarkan doa mereka.
Dalam hasyiyah al-Jamal disebutkan,
وينبغي أن ذلك كله إذا لم يكن على وجه يشعر بالتعظيم، وإلا امتنع خصوصا إذا قويت القرينة على تعظيمه وتحقير غيره
Dan selayaknya perlu diperhatikan, bahwa semua itu dibolehkan jika tidak dipahami ada unsur memuliakan. Jika tidak, tidak boleh mengaminkan. Terutama jika terdapat indikator kuat di sana ada bentuk memuliakan orang kafir dan merendahkan yang lain.
Terdapat riwayat dari Hassan bin Athiyah, beliau mengatakan,
لا بأس أن يؤمن المسلم على دعاء الراهب
Tidak masalah seorang mukmin mengaminkan doa rahib. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf 29835).

Berdasarkan keterangan di atas, maka do'a bersama yang  didalamnya disebut Tuhan selain Allah sebagai tempat bermohon do'a maka bukan termasuk dalam kategori yang dibolehkan.  Bagaimana dengan salam lintas agama? Salam dalam pandangan ajaran Islam bukan sekedar sapaan biasa, tetapi di dalamnya ada permohonan do'a  kepada Tuhan.  Maka,kalau  didalam sapaan salam ada permohonan kepada Tuhan selain Allah maka sebenarnya dihukumi sama dengan hukum do'a bersama.
Berikut ini kami  nukilkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hukum do'a bersama:

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor:  3/MUNAS VII/MUI/7/2005, Tentang DO’A BERSAMA

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah :

MENIMBANG    :    
a. bahwa dalam acara-acara resmi ke- masyarakatan maupun kenegaraan terkadang dilakukan do’a oleh umat Islam Indonesia dalam bentuk do’a bersama dengan penganut agama lain pada satu tempat yang sama;
b.  bahwa hal tersebut telah menimbulkan pertanyaan  di     kalangan     umat Islam tentang hukum do’a bersama menurut hukum Islam;
c.   bahwa   oleh   karena   itu,   MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang do’a bersama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam.

MENGINGAT :
1.    Firman Allah swt, antara lain:
أَمَّن يُجِيبُ ٱلۡمُضۡطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكۡشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجۡعَلُكُمۡ خُلَفَآءَ ٱلۡأَرۡضِۗ أَءِلَٰهٞ مَّعَ ٱللَّهِۚ قَلِيلٗا مَّا تَذَكَّرُونَ 
Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya). (QS.27. An-Naml : 62).

لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ 
Sesungguhnya kafirlah orang0orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.(QS.5. Al-Maidah : 73).
.... وَمَا دُعَٰٓؤُاْ ٱلۡكَٰفِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَٰلٍ 
Dan doa orang-orang kafir itu hanyalah sia-sia belaka. (QS.40. Ghofir : 50).

وَٱلَّذِينَ لَا يَدۡعُونَ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ وَلَا يَقۡتُلُونَ ٱلنَّفۡسَ ٱلَّتِي حَرَّمَ ٱللَّهُ إِلَّا بِٱلۡحَقِّ وَلَا يَزۡنُونَۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ يَلۡقَ أَثَامٗا 
Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (QS.25. Al-Furqan : 68).

وَلَا تَلۡبِسُواْ ٱلۡحَقَّ بِٱلۡبَٰطِلِ وَتَكۡتُمُواْ ٱلۡحَقَّ وَأَنتُمۡ تَعۡلَمُونَ 
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. (QS.2. Al-Baqarah :

قُلۡ يَٰٓأَيُّهَا ٱلۡكَٰفِرُونَ لَآ أَعۡبُدُ مَا تَعۡبُدُونَ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ وَلَآ أَنَا۠ عَابِدٞ مَّا عَبَدتُّمۡ وَلَآ أَنتُمۡ عَٰبِدُونَ مَآ أَعۡبُدُ لَكُمۡ دِينُكُمۡ وَلِيَ دِينِ 
1.       Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2.  Aku tidak akan
2.       menyembah apa yang kamu sembah. 3.  Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. 4.  Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5.  dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6.  Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku". (QS.109. Al-Kafirun :109).

2.    Hadis Nabi s.a.w.:
الدُّعَاءُ مُخُّ الْعِبَادَةِ
“Do’a   adalah   otak   (inti)   ibadah.”   (HR. Tirmizi). (Pen. (Versi Maktabah Syamilah :  3293).

3. Qa’idah fiqh:  
الأصل في العبادة التوقيف والاتباع
“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).” (Pen. Lihat Ilmu Al-maqasid Asy-syar’iyah 1/166)

MEMPERHATIKAN :
1.   Pendapat para ulama (lihat, a.l.: Hasyiyatul Jamal Fathul Wahhab, juz V, h. 226; Hasyiyatul Jamal, juz II, h. 119; Mughnil Muhtaj, juz I, h. 323; dan al-Majmu’, juz V, h. 72 dan 66):
“Kaum zimmi dan orang kafir lainnya tidak boleh bercampur dengan kita, baik di dalam tepat salat kita maupun ketika keluar (dari kampung, tempat tinggal); dalam arti hal itu hukumnya makruh. Mereka di tempat terpisah dari kita, karena mereka adalah musuh Allah. Boleh jadi akan ada azab menimpa mereka disebabkan kekufuran mereka, dan azab tersebut dapat menimpa kita juga. Allah berfirman: “Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang- orang yang zalim saja di antara kamu…” (QS. al-Anfal [8]: 25). Tidak boleh pula mengamini do’a mereka --sebagaimana dikemukakan oleh  Imam  Rauyani--  karena  do’a  orang kafir tidak diterima (dikabulkan). Sebagian ulama berpendapat, do’a mereka bolehjadi dikabulkan sebagaimana telah dikabulkan do’a iblis yang minta agar ditangguhkan.
2.    Rapat  Komisi  Fatwa  MUI  pada  Sabtu,  13 Ramadhan 1421/9 Desember 2000.
3.    Pendapat  Sidang  Komisi  C  Bidang  Fatwa pada Munas VII MUI 2005.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN   :  FATWA TENTANG DO’A BERSAMA
Pertama              :   Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1. Do’a Bersama adalah berdo’a yang dilakukan secara bersama-sama antara umat Islam dengan umat non-Islam dalam acara-acara resmi kenegaraan maupun kemasyarakatan pada waktu dan tempat yang sama, baik dilakukan dalam bentuk satu atau beberapa orang berdo’a sedang yang lain mengamini maupun dalam bentuk setiap orang berdo’a menurut              agama    masing-masing    secara bersama-sama.
2.   Mengamini  orang  yang  berdo’a  termasuk do’a.

Kedua                        :  Ketentuan Hukum
1.  Do’a  bersama  yang  dilakukan  oleh  orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh karenanya, termasuk BID’AH.
2. Do’a Bersama dalam bentuk “Setiap pemuka agama berdo’a secara bergiliran” maka orang Islam HARAM mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh non-muslim.
3.  Do’a Bersama dalam bentuk “Muslim dan non- muslim berdo’a secara serentak” mereka membaca teks do’a bersama-sama) hukumnya HARAM.
4. Do’a Bersama dalam bentuk “Seorang non- Islam memimpin do’a” maka orang Islam HARAM mengikuti dan mengamininya.
5. Do’a Bersama dalam bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin do’a” hukumnya MUBAH.
6.  Do’a dalam bentuk “Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya MUBAH.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal :  21 Jumadil Akhir 1426 H. 28   J u l i   2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII MAJELIS ULAMA INDONESIA
Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa


Ketua                                  Sekretaris

K.H. Ma’ruf Amin          Drs. H. Hasanuddin, M.Ag

PENJELASAN ATAS FATWA DO’A BERSAMA

Bagi umat Islam, Do’a Bersama bukan merupakan sesuatu yang baru.  Sejak  belasan  abad,  bahkan  sejak  agama  Islam  disampaikan oleh Nabi Muhammad s.a.w., hingga sekarang, mereka sudah terbiasa melakukannya, baik dilakukan setelah salat berama’ah maupun pada event-event tertentu.
Do’a adalah suatu bentuk kegiatan berupa permohonan manusia kepada Allah SWT semata (lihat antara lain QS. al-Naml [27]: 62). Dalam sejumlah ayat al-Qur’an (lihat antara lain QS. al-Mu’min [40]:60) Allah memerintahkan agar berdo’a. Oleh karena itu, kedudukan do’a dalam ajaran Islam adalah ibadah. Bahkan Nabi s.a.w. menyebutnya sebagai otak atau intisari ibadah (mukhkh al-‘ibadah). Sebagai sebuah ibadah, pelaksanaan do’a wajib mengikuti ketentuan atau aturan yang telah digariskan oleh ajaran Islam. Di antara ketentuan paling penting dalam berdo’a adalah bahwa do’a hanya dipanjatkan kepada Allah SWT semata. Dengan demikian, di dalam do’a sebenarnya terkandung juga unsur aqidah, yakni hal yang paling fundamental dalam agama (ushul al-din).
Di Indonesia akhir-akhir ini, dalam acara-acara resmi kemasyarakatan maupun kenegaraan umat Islam terkadang melakukan do’a  bersama dengan penganut agama lain pada satu tempat  yang sama. Do’a dengan bentuk seperti itulah yang dimaksud dengan Do’a Bersama. Sedangkan do’a yang dilakukan hanya oleh umat Islam sebagaimana disinggung di atas tidak masuk dalam pengertian ini. Do’a Bersama tersebut telah menimbulkan sejumlah pertanyaan di kalangan umat Islam, terutama tentang status hukumnya. Majelis Ulama Indonesia dalam Musyawarah Nasional VII tahun 2005 telah menetapkan fatwa tentang Do’a Bersama.
Bagi sejumlah kalangan, Fatwa tersebut telah cukup dapat menjawab persoalan; akan tetapi bagi sebagian kalangan lain, Fatwa itu masih mengandung persoalan sehingga penjelasan lebih lanjut masih tetap diperlukan.
Berikut adalah Fatwa dimaksud serta penjelasannya:
A.   Bentuk-bentuk Do’a bersama
1.   Satu  orang  berdo’a  (memanjatkan  do’a)  sedang  yang  lain mengamininya (megucapkan AMIN).
2.   Beberapa orang berdo’a sedang yang lain mengamininya.
3.   Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing secara bersama-sama.
4. Mengamini (megucapkan AMIN kepada) orang yang berdo’a. Hal itu karena arti AMIN adalah istajib du’a`ana (perkenankan atau kabulkan do’a kami, ya Allah).

B.   Bentuk-bentuk Do’a Bersama yang HARAM

1.     Setiap pemuka agama berdo’a secara bergiliran.

Dalam bentuk ini orang Islam HARAM mengikuti dan mengamini do’a yang dipimpin oleh non-muslim.
a.   Mengapa haram mengamini do’a non-muslim? Karena, sebagaimana telah dijelaskan, “mengamini” sama dengan berdo’a; dan ketika yang berdo’a adalah non-muslim, maka  orang  Islam  yang  mengamini  tersebut  berarti ia berdo’a kepada tuhan yang kepadanya non-muslim berdo’a. Padahal konsep dan aqidah mereka tentang tuhan, menurut al-Qur’an, berbeda dengan aqidah orang Islam (lihat antara lain QS. al-Ma’idah [5]: 73).
      Dengan demikian, orang Islam yang megamini do’a yang dipanjatkan oleh non-muslim dapat dikategorikan kafir atau musyrik.
b.  Orang Islam yang karena alasan tertentu harus mengikuti do’a bersama, maka ketika non-muslim memanjatkan do’a, ia wajib diam dalam arti haram mengamininya.

2.   Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak (misalnya mereka membaca teks do’a bersama-sama).
      Do’a Bersama dalam bentuk ini hukumnya HARAM. Artinya, orang Islam tidak boleh melakukannya. Sebab do’a seperti itu dipandang telah mencampuradukkan antara ibadah (dalam hal do’a) yang haq (sah, benar) dengan ibadah yang bathil (batal); dan hal ini dilarang oleh agama (lihat antara lain QS. al-Baqarah [2]: 42).
      Do’a Bersama dalam bentuk kedua ini pun sangat berpotensi mengancam aqidah orang Islam yang awam. Cepat atau lambat, mereka akan menisbikan status do’a yang dalam ajaran Islam merupakan ibadah, serta dapat pula menimbulkan anggapan bagi mereka bahwa aqidah ketuhanan non-muslim sama dengan aqidah ketuhanan orang Islam. Di sini berlakulah kaidah; “sadd al-zari’ah” dan “daf’u al-dharar”.
3.  Seorang non-Islam memimpin do’a.
      Dalam Do’a Bersama bentuk ketiga ini orang Islam HARAM mengikuti dan mengamininya; dengan alasan sebagaimana pada bentuk pertama

C. Bentuk-bentuk       Do’a       Bersama       yang       MUBAH (Dibolehkan)
1.   Seorang tokoh Islam memimpin do’a.
2.  Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing.

D.   Penutup
1.   Do’a Bersama sebagaimana dimaksudkan dalam fatwa pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam; dan karenanya termasuk bid’ah (bagian kedua angka 1). Akan tetapi, tidak berarti semua bentuk Do’a Bersama hukumnya haram. Mengenai status hukumnya dijelaskan pada angka 2 s-d 6).
2.   Ada tiga bentuk Do’a Bersama yang bagi orang Islam haram melakukannya. Dua bentuk (lihat B angka 1 dan 3) disebabkan orang Islam mengamini do’a non-muslim, dan satu bentuk (lihat  B angka 2) disebabkan mencam-puradukkan ibadah dan aqidah dengan ibadah Islam dan aqidah non-muslim.
3.   Ada dua bentuk Do’a Bersama yang hukumnya mubah (boleh dilakukan) oleh umat Islam (lihat C) hal ini karena yang berdo’a adalah orang Islam sendiri dan tidak mengamini do’a non muslim.
4.   Larangan Do’a Bersama dalam tiga bentuk di atas (huruf B) tidak dapat dipandang sebagai pemberangusan terhadap kebebasan untuk menjalankan ibadah menurut keyakinan masing-masing, melainkan untuk melindungi kemurnian aqidah dan ibadah umat Islam, serta merupakan penghormatan terhadap keyakinan setiap pemeluk agama.
5.   Menghadiri Do’a Bersama yang dipimpin oleh non-muslim tidak diharamkan dengan syarat tidak mengamininya. Namun demikian, sebaiknya orang Islam tidak menghadirinya. Jika terpaksa harus menghadirinya, ia wajib bersikap pasif (berdiam diri, tidak mengamini) ketika non-muslim berdo’a.
6.   Maksud  kata  “Mengikuti”  dalam  Fatwa,  bagian  kedua, angka  2  dan  4  adalah  mengikuti  do’a  yang  dipimpin  oleh non-muslim yang disertai mengamininya atau mengikuti gerakan-gerakan dan tata cara berdo’a yang dilakukan oleh non-muslim walaupun tanpa disertai mengamininya. Oleh karena itu, bagi orang muslim mengikuti do’a non-muslim haram hukumnya, karena hal itu sama dengan mengikuti gerakan atau tata cara beribadah yang dilakukan oleh non- muslim. Sedangkan menghadiri semata do’a non-muslim, tanpa mengikuti gerakan-gerakan dan tata caranya dan tanpa mengamininya, tidak diharamkan sebagaimana dijelaskan pada angka 5 di atas.

Demikian kutipan Fatwa MUI yang sebenarnya sudah lama  dikeluarkan yakni pada tahun 2005. Menurut hemat penulis fatwa tersebut sudah cukup baik tanpa bermaksud mengurangi makna TOLERANSI DAN BHINNEKA TUNGGAL IKA dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

FATWA MUI DALAM MASALAH SALAM  LINTAS AGAMA

      Dalam ungkapan salam (Islam) yang biasa kita ucapkan dan dengarkan yakni : “Assalamu'alaikum Warahmatullahi wa barakatuh”, di dalamnya ada unsur do'a (mendo’akan), sehingga seringkali lafadz tersebut diterjemahkan : “Semoga keselamatan , rahmat Allah dan keberkahan-Nya atas kalian”. Demikian pula ungkapan salam  versi agama lain juga ada yang mengandung unsur do'a. Maka dari itu salam ini dihukumi sebagaimana do'a bersama.
      Di bawah ini kami kutipkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Propinsi Jawa Timur tertanggal 8 November 2019, Sebagai berikut:

TAUSHIYAH MUI PROVINSI JAWA TIMUR
TERKAIT DENGAN FENOMENA PENGUCAPAN SALAM LINTAS AGAMA DALAM SAMBUTAN-SAMBUTAN DI ACARA RESMI

      Bahwa akhir-akhir ini berkembang kebiasaan, seseorang dalam membuka sambutan atau pidato di acara-acara resmi sering kali menyampaikan salam atau kalimat pembuka dari semua agama. Hal ini muncul dilandasi motivasi untuk meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama agar terjalin lebih harmonis sehingga dapat memperkokoh kesatuan bangsa dan keutuhan NKRI. Namun demikian, mengingat bahwa ucapan salam mempunyai keterkaitan dengan ajaran yang bersifat ibadah, maka Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur merujuk pada rekomendasi Rapat Keija Nasional (Rakernas) MUI 11-13 Oktober 2019 di Nusa Tenggara Barat, perlu menyampaikan taushiyah dan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
1.    Bahwa agama adalah sistem keyakinan yang didalamnya mengandung ajaran yang berkaitan dengan masalah aqidah dan sistem peribadatan yang bersifat eksklusif bagi pemeluknya, sehingga meniscayakan adanya perbedaan-perebedaan antara agama satu dengan agama yang lain.
2.    Dalam kehidupan bersama di suatu masyarakat majemuk, lebih-lebih Indonesia yang mempunyai semboyan Bhinneka tunggal ika, adanya perbedaan-perbedaan menuntut adanya toleransi dalam menyikapi perbedaan.
3.    Dalam mengimplementasikan toleransi antar umat beragama, perlu ada kriteria dan batasannya agar tidak merusak kemurnian ajaran agama. Prinsip tolerasi pada dasarnya bukan menggabungkan, menyeragamkan atau menyamakan yang berbeda, tetapi toleransi adalah kesiapan menerima adanya perbedaan dengan cara bersedia untuk hidup bersama di masyarakat dengan prinsip menghormati masing-masing fihak yang berbeda.
4.    Islam pada dasarnya sangat menjunjung tinggi prinsip toleransi, yang antara lain diwujudkan dalam ajaran tidak ada paksaan dalam agama (QS. al-Baqarah [2]: 256); prinsip tidak mencampur aduk ajaran agama dalam konsep " Untukmu/ah agamamu, dan untukkulah, agamaku sendiri". (QS. al-Kafirun [109]: 6), prinsip kebolehan berinteraksi dan berbuat baik dalam lingkup muamalah (QS. al-Mumtahanah [60]: 8), dan prinsip berlaku adil kepada siapapun (QS. al-Maldah [8]: 8).
5.    Jika dicermati, salam adalah ungkapan do'a yang merujuk pada keyakinan dari agama tertentu. Sebagai contoh, salam umat Islam, ''Assaiaamu 'aiaikum" yang artinya "semoga Allah mencurahkan keselamatan kepada kalian". Ungkapan ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah Swt, Tuhan yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia. Salam umat Budha, "Namo buddaya”, artinya terpujilah Sang Budha satu ungkapan yang tidak terpisahkan dengan keyakinan umat Budha tentang Sidarta Gautama. Ungkapan pembuka dari agama Hindu, "Om swasti astu". Om, adalah panggilan umat Hindu khususnya di Bali kepada Tuhan yang mereka yakini yaitu "Sang Yang WidhiZ "Om", seruan ini untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan yang tidak lain dalam keyakinan Hindu adalah Sang Yang Widhi tersebut. Lalu kata swasti, dari kata su yang artinya baik, dan asti artinya bahagia. Sedangkan Astu artinya semoga. Dengan demikian ungkapan Om swasti astu kurang lebih artinya, "semoga Sang Yang Widhi mencurahkan kebaikan dan kebahagiaan".
6.    Bahwa doa' adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah. Bahkan di dalam Islam do'a adalah inti dari ibadah. Pengucapan salam pembuka menurut Islam bukan sekedar basa basi tetapi do'a.
7.    Mengucapkan salam pembuka dari semua agama yang dilakukan oleh umat Islam adalah perbuatan baru yang merupakan bid'ah yang tidak pernah ada di masa yang lalu, minimal mengandung nilai syubhat yang patut dihindari.
8.    Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur menyerukan kepada umat Islam khususnya dan kepada pemangku kebijakan agar dalam persoalan salam pembuka dilakukan sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Untuk umat Islam cukup mengucapkan kalimat, "Assalaamu'laikum. Wr. Wb." Dengan demikian bagi umat Islam akan dapat terhindar dari perbuatan syubhat yang dapat merusak kemurnian dari agama yang dianutnya.
Demikian taushiyah / pokok-pokok pikiran dari MUI Provinsi Jawa Timur.

Surabaya, 11 Rabiul Awal 1441 H/ 8 November 2019 M
Dewan Pimpinan MUI Provinsi Jawa Timur
Ketua                                                Sekretaris

KH. Abdusshomad Buchori      H.Ainul Yaqin, S,Si, M.Si

      Fatwa tersebut menimbulkan pro dan kontra. PWNU melalui Katib Syuriah PWNU Jatim KH Syafrudin Syarif mengemukakan: Bagi pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua dan semisalnya. Namun demikian, dalam kondisi dan situasi tertentu untuk menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama,” katanya seperti dilansir Beritajatim.com-jaringan Suara.com di kantor PWNU Jatim pada Selasa (12/11/2019).
      Sementara PW Muhammadiyah Jawa Timur Wilayah Muhammadiyah (PWM), Jawa Timur, melalui Ketuanya  Kiai Saad Ibrahim.kepada TIMES Indonesia, pihaknya mendukung imbaun salam yang terlampir dalam surat bernomor 110/MUI/JTM/2019. Beliau menyerukan kepada semua pejabat untuk menggunakan salam sesuai ajaran agama masing-masing saja. Pejabat Islam misalkan, cukup menggunakan salam 'Assalaamu'alaikum. Wr. Wb'. Kalaupun harus ditambah salam lintas agama, yakni bisa digunakan selamat pagi atau dengan selamat yang lainnya saja. "Jadi, jika dalam sebuah pertemuan diketahui ada yang bukan muslim, maka bisa digunakan salam Islam seraya diniatkan semata untuk sesama muslim, bisa juga ditambahkan selamat pagi atau selamat siang,".
      Menurut beliau  soal polemik salam lintas agama ini merupakan otoritas Majlis Tarjih dan Tajdid. Dimana, jika isu tersebut menjadi isu nadional, maka nantinya pada tingkat Pengurus Pusat Muhammadyah yang akan membahasnya.
      Dari ketrangan-keterangan di atas maka penulis berpendapat bahwa  bila kita meyakini bahwa do'a dan salam itu merupakan bagian ibadah yang berkaitan dengan aqidah (ketauhidan), maka tidak lah layak untuk dilakukan oleh seorang Muslim yang baik. Adanya penjelasan di atas juga memberikan pemahaman kepada masyarakat luas bahwa dalam aqidah kita tidak boleh mencampurkan keyakinan agama lain, walau atas nama toleransi dan kebhinnekaan. Sepatutnya orang-orang memahami bahwa toleransi itu berarti mengakui dan menerima perbedaan (Kebhinnekaan) bukan memaksakan yang berbeda untuk disamakan.  Kita tentu masih ingat asbabun nuzul dari QS.109. Al-Kafirun : 1-6.
Wallahu a’lamu bi shawab.

DOWNLOAD VERSI PDF,⇒⇒⇒⇒   https://drive.google.com/open?id=1-Z5gNAhAMNLYYySkgkODjnPhuVSs49Qk