12 Hadits Lemah dan Palsu Seputar Ramadhan
(Sumber :
https://muslim.or.id/1334-12-hadits-lemah-dan-palsu-seputar-ramadhan.html)
Berkaitan dengan bulan Ramadhan yang
penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa hadits lemah dan palsu mengenai
puasa yang banyak tersebar di masyarakat
Islam adalah
agama yang ilmiah. Setiap amalan, keyakinan, atau ajaran yang disandarkan
kepada Islam harus memiliki dasar dari Al Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu’alaihi
wa sallamyang otentik. Dengan ini, Islam tidak memberi celah kepada
orang-orang yang beritikad buruk untuk menyusupkan pemikiran-pemikiran atau
ajaran lain ke dalam ajaran Islam.
Karena
pentingnya hal ini, tidak heran apabila Abdullah bin Mubarak rahimahullahmengatakan
perkataan yang terkenal:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد؛ لقال من شاء ما شاء
“Sanad
adalah bagian dari agama. Jika tidak ada sanad, maka orang akan berkata
semaunya.” (Lihat dalam Muqaddimah
Shahih Muslim, Juz I, halaman 12)
Dengan adanya
sanad, suatu perkataan tentang ajaran Islam dapat ditelusuri asal-muasalnya.
Oleh karena
itu, penting sekali bagi umat muslim untuk memilah hadits-hadits, antara yang
shahih dan yang dhaif, agar diketahui amalan mana yang seharusnya diamalkan
karena memang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam serta amalan mana yang tidak perlu
dihiraukan karena tidak pernah diajarkan oleh beliau.
Berkaitan
dengan bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, akan kami sampaikan beberapa
hadits lemah dan palsu mengenai puasa yang banyak tersebar di masyarakat. Untuk
memudahkan pembaca, kami tidak menjelaskan sisi kelemahan hadits, namun hanya
akan menyebutkan kesimpulan para pakar hadits yang menelitinya. Pembaca yang
ingin menelusuri sisi kelemahan hadits, dapat merujuk pada kitab para ulama
yang bersangkutan.
Hadits
1
صوموا تصحوا
“Berpuasalah,
kalian akan sehat.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Nu’aim di Ath Thibbun Nabawi sebagaimana dikatakan oleh
Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul Ihya (3/108), oleh Ath Thabrani di Al
Ausath (2/225), oleh
Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (3/227).
Hadits ini
dhaif (lemah), sebagaimana dikatakan oleh Al Hafidz Al Iraqi di Takhrijul
Ihya(3/108), juga Al Albani di Silsilah Adh Dha’ifah (253). Bahkan Ash Shaghani agak berlebihan
mengatakan hadits ini maudhu (palsu) dalam Maudhu’at Ash Shaghani (51).
Keterangan:
jika memang terdapat penelitian ilmiah dari para ahli medis bahwa puasa itu
dapat menyehatkan tubuh, makna dari hadits dhaif ini benar, namun tetap tidak
boleh dianggap sebagai sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits
2
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ ، وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ ، وَدُعَاؤُهُ
مُسْتَجَابٌ ، وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ
“Tidurnya
orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, do’anya dikabulkan, dan
amalannya pun akan dilipatgandakan pahalanya.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Baihaqi di Syu’abul Iman (3/1437).
Hadits ini
dhaif, sebagaimana dikatakan Al Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul
Ihya (1/310). Al
Albani juga mendhaifkan hadits ini dalam Silsilah Adh Dha’ifah (4696).
Terdapat juga
riwayat yang lain:
الصائم في عبادة و إن كان راقدا على فراشه
“Orang
yang berpuasa itu senantiasa dalam ibadah meskipun sedang tidur di atas
ranjangnya.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Tammam (18/172). Hadits ini juga dhaif, sebagaimana dikatakan
oleh Al Albani di Silsilah Adh Dhaifah (653).
Yang benar,
tidur adalah perkara mubah (boleh) dan bukan ritual ibadah. Maka, sebagaimana
perkara mubah yang lain, tidur dapat bernilai ibadah jika diniatkan sebagai
sarana penunjang ibadah. Misalnya, seseorang tidur karena khawatir tergoda
untuk berbuka sebelum waktunya, atau tidur untuk mengistirahatkan tubuh agar
kuat dalam beribadah.
Sebaliknya,
tidak setiap tidur orang berpuasa itu bernilai ibadah. Sebagai contoh, tidur
karena malas, atau tidur karena kekenyangan setelah sahur. Keduanya, tentu
tidak bernilai ibadah, bahkan bisa dinilai sebagai tidur yang tercela. Maka,
hendaknya seseorang menjadikan bulan ramadhan sebagai kesempatan baik untuk
memperbanyak amal kebaikan, bukan bermalas-malasan.
Hadits
3
يا أيها الناس قد أظلكم شهر عظيم ، شهر فيه ليلة خير من ألف شهر ، جعل
الله صيامه فريضة ، و قيام ليله تطوعا ، و من تقرب فيه بخصلة من الخير كان كمن أدى
فريضة فيما سواه ، و من أدى فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه ، و هو شهر
الصبر و الصبر ثوابه الجنة ، و شهر المواساة ، و شهر يزاد فيه رزق المؤمن ، و من
فطر فيه صائما كان مغفرة لذنوبه ، و عتق رقبته من النار ، و كان له مثل أجره من
غير أن ينتقص من أجره شيء قالوا : يا رسول الله ليس كلنا يجد ما يفطر الصائم ، قال
: يعطي الله هذا الثواب من فطر صائما على مذقة لبن ، أو تمرة ، أو شربة من ماء ، و
من أشبع صائما سقاه الله من الحوض شربة لايظمأ حتى يدخل الجنة ، و هو شهر أوله
رحمة و وسطه مغفرة و آخره عتق من النار ،
“Wahai
manusia, bulan yang agung telah mendatangi kalian. Di dalamnya terdapat satu malam
yang lebih baik dari 1. 000 bulan. Allah menjadikan puasa pada siang harinya
sebagai sebuah kewajiban, dan menghidupkan malamnya sebagai ibadah tathawwu’
(sunnah). Barangsiapa pada bulan itu mendekatkan diri (kepada Allah) dengan
satu kebaikan, ia seolah-olah mengerjakan satu ibadah wajib pada bulan
yang lain. Barangsiapa mengerjakan satu perbuatan wajib, ia seolah-olah
mengerjakan 70 kebaikan di bulan yang lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran,
sedangkan kesabaran itu balasannya adalah surga. Ia (juga) bulan
tolong-menolong. Di dalamnya rezki seorang mukmin ditambah. Barangsiapa pada
bulan Ramadhan memberikan hidangan berbuka kepada seorang yang berpuasa,
dosa-dosanya akan diampuni, diselamatkan dari api neraka dan memperoleh pahala
seperti orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa
tadi sedikitpun” Kemudian para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, tidak semua
dari kita memiliki makanan untuk diberikan kepada orang yang berpuasa.”
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata, “Allah memberikan pahala
tersebut kepada orang yang memberikan hidangan berbuka berupa sebutir kurma,
atau satu teguk air atau sedikit susu. Ramadhan adalah bulan yang permulaannya
rahmat, pertengahannya maghfirah (ampunan) dan akhirnya pembebasan dari api
neraka.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (1887), oleh Al Mahamili dalam Amaliyyah (293), Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Fid Dhu’afa (6/512),
Al Mundziri dalam Targhib Wat Tarhib (2/115)
Hadits ini
didhaifkan oleh para pakar hadits seperti Al Mundziri dalam At
Targhib Wat Tarhib(2/115), juga didhaifkan oleh Syaikh Ali Hasan Al
Halabi di Sifatu Shaumin Nabiy (110), bahkan dikatakan oleh Abu Hatim
Ar Razi dalam Al ‘Ilal (2/50) juga Al Albani dalam Silsilah
Adh Dhaifah (871)
bahwa hadits ini Munkar.
Yang benar, di
seluruh waktu di bulan Ramadhan terdapat rahmah, seluruhnya terdapat ampunan
Allah dan seluruhnya terdapat kesempatan bagi seorang mukmin untuk terbebas
dari api neraka, tidak hanya sepertiganya. Salah satu dalil yang menunjukkan
hal ini adalah:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا ، غفر له ما تقدم من ذنبه
“Orang
yang puasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari no.38,
Muslim, no.760)
Dalam hadits
ini, disebutkan bahwa ampunan Allah tidak dibatasi hanya pada pertengahan
Ramadhan saja. Lebih jelas lagi pada hadits yang diriwayatkan oleh At Tirmidzi,
Rasulullah bersabda:
إِذَا كَانَ أَوَّلُ لَيْلَةٍ مِنْ شَهْرِ رَمَضَانَ صُفِّدَتِ
الشَّيَاطِينُ، وَمَرَدَةُ الجِنِّ، وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ، فَلَمْ
يُفْتَحْ مِنْهَا بَابٌ، وَفُتِّحَتْ أَبْوَابُ الجَنَّةِ، فَلَمْ يُغْلَقْ
مِنْهَا بَابٌ، وَيُنَادِي مُنَادٍ: يَا بَاغِيَ الخَيْرِ أَقْبِلْ، وَيَا بَاغِيَ
الشَّرِّ أَقْصِرْ، وَلِلَّهِ عُتَقَاءُ مِنَ النَّارِ، وَذَلكَ كُلُّ
لَيْلَةٍ
“Pada awal malam bulan Ramadhan,
setan-setan dan jin-jin jahat dibelenggu, pintu neraka ditutup, tidak ada
satu pintu pun yang dibuka. Pintu surga dibuka, tidak ada satu pintu pun yang
ditutup. Kemudian Allah menyeru: ‘wahai penggemar kebaikan, rauplah sebanyak
mungkin, wahai penggemar keburukan, tahanlah dirimu’. Allah pun
memberikan pembebasan dari neraka bagi hamba-Nya. Dan itu terjadi setiap malam” (HR. Tirmidzi
682, dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Adapun
mengenai apa yang diyakini oleh sebagian orang, bahwa setiap amalan sunnah
kebaikan di bulan Ramadhan diganjar pahala sebagaimana amalan wajib, dan amalan
wajib diganjar dengan 70 kali lipat pahala ibadah wajib diluar bulan Ramadhan,
keyakinan ini tidaklah benar berdasarkan hadits yang lemah ini. Walaupun
keyakinan ini tidak benar, sesungguhnya Allah ta’ala melipatgandakan pahala
amalan kebaikan berlipat ganda banyaknya, terutama ibadah puasa di bulan
Ramadhan.
Hadits
4
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : اللهم لك صمت وعلى رزقك
أفطرت فتقبل مني إنك أنت السميع العليم
“Biasanya
Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam ketika berbuka membaca
doa: Allahumma laka shumtu wa ‘alaa rizqika afthartu fataqabbal minni, innaka
antas samii’ul ‘aliim.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya (2358), Adz Dzahabi
dalam Al Muhadzab (4/1616),
Ibnu Katsir dalam Irsyadul Faqih (289/1), Ibnul Mulaqqin dalam Badrul
Munir (5/710)
Ibnu Hajar Al
Asqalani berkata di Al Futuhat Ar Rabbaniyyah (4/341) : “Hadits ini gharib, dan
sanadnya lemah sekali”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Asy Syaukani dalam Nailul
Authar(4/301), juga oleh Al Albani di Dhaif
Al Jami’ (4350). Dan
doa dengan lafadz yang semisal, semua berkisar antara hadits lemah dan munkar.
Sedangkan doa
berbuka puasa yang tersebar dimasyarakat dengan lafadz:
اللهم لك صمت و بك امنت و على رزقك افطرت برحمتك يا ارحم الراحمين
“Ya Allah,
untuk-Mu aku berpuasa, kepada-Mu aku beriman, atas rezeki-Mu aku berbuka, aku
memohon Rahmat-Mu wahai Dzat yang Maha Penyayang.”
Hadits ini
tidak terdapat di kitab hadits manapun. Atau dengan kata lain, ini adalah
hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Al Mulla Ali Al Qaari dalam kitab Mirqatul
Mafatih Syarh Misykatul Mashabih: “Adapun doa yang tersebar di
masyarakat dengan tambahan ‘wabika aamantu’ sama sekali tidak ada asalnya, walau
secara makna memang benar.”
Yang benar,
doa berbuka puasa yang dicontohkan oleh
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallamterdapat
dalam hadits:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق
وثبت الأجر إن شاء الله
“Biasanya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله
/Dzahabaz
zhamaa-u wabtalatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insyaa Allah/
(‘Rasa haus
telah hilang, kerongkongan telah basah, semoga pahala didapatkan. Insya
Allah’)”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Daud (2357), Ad Daruquthni (2/401), dan dihasankan oleh
Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah, 2/232 juga
oleh Al Albani di Shahih Sunan Abi Daud.
Hadits
5
من أفطر يوما من رمضان من غير رخصة لم يقضه وإن صام الدهر كله
“Orang
yang sengaja tidak berpuasa pada suatu hari di bulan Ramadhan, padahal ia
bukan orang yang diberi keringanan, ia tidak akan dapat mengganti puasanya
meski berpuasa terus menerus.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari di Al’Ilal Al Kabir (116), oleh Abu Daud di Sunannya
(2396), oleh Tirmidzi di Sunan-nya (723), Imam Ahmad di Al
Mughni (4/367), Ad
Daruquthni di Sunan-nya (2/441, 2/413), dan
Al Baihaqi di Sunan-nya (4/228).
Hadits ini
didhaifkan oleh Al Bukhari, Imam Ahmad, Ibnu Hazm di Al
Muhalla (6/183), Al
Baihaqi, Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (7/173), juga oleh Al Albani di Dhaif
At Tirmidzi(723), Dhaif Abi Daud (2396), Dhaif
Al Jami’ (5462) dan Silsilah
Adh Dha’ifah (4557).
Namun, memang sebagian ulama ada yang menshahihkan hadits ini seperti Abu Hatim
Ar Razi di Al Ilal (2/17), juga ada yang menghasankan
seperti Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur Ruwah(2/329) dan Al
Haitsami di Majma’ Az Zawaid (3/171). Oleh karena itu, ulama
berbeda pendapat mengenai ada-tidaknya qadha bagi orang yang sengaja tidak
berpuasa.
Yang benar
-wal ‘ilmu ‘indallah- adalah penjelasan Lajnah Daimah Lil Buhuts Wal Ifta
(Komisi Fatwa Saudi Arabia), yang menyatakan bahwa “Seseorang yang sengaja
tidak berpuasa tanpa udzur syar’i,ia harus bertaubat kepada Allah dan mengganti
puasa yang telah ditinggalkannya.” (Periksa: Fatawa Lajnah Daimah no. 16480,
9/191)
Hadits
6
لا تقولوا رمضان فإن رمضان اسم من أسماء الله تعالى ولكن قولوا شهر رمضان
“Jangan
menyebut dengan ‘Ramadhan’ karena ia adalah salah satu nama Allah, namun
sebutlah dengan ‘Bulan Ramadhan.'”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Sunan-nya (4/201), Adz
Dzaahabi dalamMizanul I’tidal (4/247), Ibnu ‘Adi dalam Al
Kamil Fid Dhu’afa (8/313),
Ibnu Katsir di Tafsir-nya (1/310).
Ibnul Jauzi
dalam Al Maudhuat (2/545) mengatakan hadits ini palsu. Namun, yang benar adalah
sebagaimana yang dikatakan oleh As Suyuthi dalam An
Nukat ‘alal Maudhuat (41)
bahwa “Hadits ini dhaif, bukan palsu”. Hadits ini juga didhaifkan oleh Ibnu
‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhu’afa (8/313), An Nawawi dalam Al
Adzkar (475), oleh
Ibnu Hajar Al Asqalani dalamFathul
Baari (4/135) dan Al
Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (6768).
Yang benar
adalah boleh mengatakan ‘Ramadhan’ saja, sebagaimana pendapat jumhur ulama
karena banyak hadits yang menyebutkan ‘Ramadhan’ tanpa ‘Syahru (bulan)’.
Hadits
7
أن شهر رمضان متعلق بين السماء والأرض لا يرفع إلا بزكاة الفطر
“Bulan
Ramadhan bergantung di antara langit dan bumi. Tidak ada yang dapat
mengangkatnya kecuali zakat fithri.”
Hadits ini
disebutkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/157).
Al Albani mendhaifkan hadits ini dalam Dhaif At Targhib (664), dan Silsilah
Ahadits Dhaifah (43).
Yang benar,
jika dari hadits ini terdapat orang yang meyakini bahwa puasa Ramadhan tidak
diterima jika belum membayar zakat fithri, keyakinan ini salah, karena
haditsnya dhaif. Zakat fithri bukanlah syarat sah puasa Ramadhan, namun jika
seseorang meninggalkannya ia mendapat dosa tersendiri.
Hadits
8
رجب شهر الله ، وشعبان شهري ، ورمضان شهر أمتي
“Rajab
adalah bulan Allah, Sya’ban adalah bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Adz Dzahabi di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ibnu Asakir diMu’jam Asy Syuyukh (1/186).
Hadits ini
didhaifkan oleh di Asy Syaukani di Nailul Authar (4/334), dan Al Albani di Silsilah
Adh Dhaifah (4400).
Bahkan hadits ini dikatakan hadits palsu oleh banyak ulama seperti Adz Dzahabi
di Tartibul Maudhu’at (162, 183), Ash Shaghani dalam Al
Maudhu’at (72), Ibnul
Qayyim dalam Al Manaarul Munif (76), Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Tabyinul
Ujab (20).
Hadits
9
من فطر صائما على طعام وشراب من حلال صلت عليه الملائكة في ساعات شهر
رمضان وصلى عليه جبرائيل ليلة القدر
“Barangsiapa
memberi hidangan berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang halal, para
malaikat bershalawat kepadanya selama bulan Ramadhan dan Jibril bershalawat
kepadanya di malam lailatul qadar.”
Hadist ini
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (1/300), Al Baihaqi di Syu’abul
Iman (3/1441), Ibnu
‘Adi dalam Al Kamil Adh Dhuafa (3/318), Al Mundziri dalam At
Targhib Wat Tarhib (1/152)
Hadits ini
didhaifkan oleh Ibnul Jauzi di Al Maudhuat (2/555), As Sakhawi dalam Maqasidul
Hasanah (495), Al
Albani dalam Dhaif At Targhib (654)
Yang
benar,orang yang memberikan hidangan berbuka puasa akan mendapatkan pahala
puasa orang yang diberi hidangan tadi, berdasarkan hadits:
من فطر صائما كان له مثل أجره ، غير أنه لا ينقص من أجر الصائم شيئا
“Siapa
saja yang memberikan hidangan berbuka puasa kepada orang lain yang berpuasa, ia
akan mendapatkan pahala orang tersebut tanpa sedikitpun mengurangi pahalanya.” (HR. At Tirmidzi no 807,
ia berkata: “Hasan shahih”)
Hadits
10
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟
قال : جهاد القلب
“Kita
telah kembali dari jihad yang kecil menuju jihad yang besar.” Para sahabat
bertanya: “Apakah jihad yang besar itu?” Beliau bersabda: “Jihadnya hati
melawan hawa nafsu.”
Menurut Al
Hafidz Al Iraqi dalam Takhrijul Ihya (2/6) hadits ini diriwayatkan oleh Al
Baihaqi dalam Az Zuhd. Ibnu Hajar Al
Asqalani dalam Takhrijul Kasyaf (4/114) juga mengatakan hadits ini
diriwayatkan oleh An Nasa’i dalam Al Kuna.
Hadits ini
adalah hadits palsu. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam di Majmu
Fatawa(11/197), juga oleh Al Mulla Ali Al Qari dalam Al
Asrar Al Marfu’ah (211).
Al Albani dalamSilsilah Adh
Dhaifah (2460)
mengatakan hadits ini Munkar.
Hadits ini
sering dibawakan para khatib dan dikaitkan dengan Ramadhan, yaitu untuk mengatakan
bahwa jihad melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan lebih utama dari jihad
berperang di jalan Allah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits ini
tidak ada asalnya. Tidak ada seorang pun ulama hadits yang berangapan seperti
ini, baik dari perkataan maupun perbuatan Nabi. Selain itu jihad melawan orang
kafir adalah amal yang paling mulia. Bahkan jihad yang tidak wajib pun merupakan
amalan sunnah yang paling dianjurkan.” (Majmu’
Fatawa, 11/197). Artinya, makna dari hadits palsu ini pun tidak
benar karena jihad berperang di jalan Allah adalah amalan yang paling mulia.
Selain itu, orang yang terjun berperang di jalan Allah tentunya telah berhasil
mengalahkan hawa nafsunya untuk meninggalkan dunia dan orang-orang yang ia
sayangi.
Hadits
11
قال وائلة : لقيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عيد فقلت : تقبل الله
منا ومنك ، قال : نعم تقبل الله منا ومنك
“Wa’ilah
berkata, “Aku bertemu dengan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pada hari
Ied, lalu aku berkata: Taqabbalallahu minna wa minka.” Beliau bersabda: “Ya,
Taqabbalallahu minna wa minka.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Al Majruhin (2/319), Al Baihaqi dalam Sunan-nya
(3/319), Adz Dzahabi dalam Al Muhadzab (3/1246)
Hadits ini
didhaifkan oleh Ibnu ‘Adi dalam Al Kamil Fid Dhuafa (7/524), oleh Ibnu Qaisirani dalam Dzakiratul
Huffadz (4/1950),
oleh Al Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (5666).
Yang benar,
ucapan ‘Taqabbalallahu Minna Wa Minka’ diucapkan sebagian sahabat berdasarkan
sebuah riwayat:
كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم
لبعض : تقبل الله منا ومنك
Artinya:
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
“Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya ketika saling berjumpa di hari Ied mereka mengucapkan: Taqabbalallahu Minna Wa Minka (Semoga Allah menerima amal ibadah saya dan amal ibadah Anda)”
Atsar ini
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al Mughni (3/294), dishahihkan oleh Al Albani
dalam Tamamul Minnah (354).
Oleh karena itu, boleh mengamalkan ucapan ini, asalkan tidak diyakini sebagai
hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam.
Hadits
12
خمس تفطر الصائم ، وتنقض الوضوء : الكذب ، والغيبة ، والنميمة ، والنظر
بالشهوة ، واليمين الفاجرة
“Lima hal
yang membatalkan puasa dan membatalkan wudhu: berbohong, ghibah, namimah, melihat
lawan jenis dengan syahwat, dan bersumpah palsu.”
Hadits ini
diriwayatkan oleh Al Jauraqani di Al Abathil (1/351), oleh Ibnul Jauzi di Al
Maudhu’at (1131)
Hadits ini
adalah hadits palsu, sebagaimana dijelaskan Ibnul Jauzi di Al
Maudhu’at (1131), Al
Albani dalam Silsilah Adh Dhaifah (1708).
Yang benar,
lima hal tersebut bukanlah pembatal puasa, namun pembatal pahala
puasa. Sebagaimana hadits:
من لم يدع قول الزور والعمل به والجهل ، فليس لله حاجة أن يدع طعامه
وشرابه
“Orang yang
tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengamalkannya, serta mengganggu orang
lain, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya.” (HR. Bukhari, no.6057)
Demikian,
semoga Allah memberi kita taufiq untuk senantiasa berpegang teguh pada ajaran
Islam yang sahih. Mudah-mudahan Allah melimpahkan rahmat dan ampunannya kepada
kita di bulan mulia ini. Semoga amal-ibadah di bulan suci ini kita berbuah
pahala di sisi RabbunaJalla
Sya’nuhu.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
***
No comments:
Post a Comment