JUMLAH RAKAAT SHALAT TARAWIH, KAIFYAHNYA DAN SEJARAH SHALAT TARAWIH DI MASJID NABAWI
DISAMPAIKAN DALAM KULIAH SUBUH
SELASA & KAMIS, 21 & 23 JUNI 2016 / 16 & 18 Ramadhan 1437 H
Di Masjid Baiturrahman Rt.005/01 Ketileng Kramat Tegal
Sumber Rujukan Utama :
1. Pedoman Hisab dan Tuntunan Ibadah Bulan Ramadhan, Yang diterbiitkan oleh Majlis Tarjih PP Muhammadiyah Tahun 2016, Halaman : 30 - 45
Dalam pertemuan ini dibahas tentang :
- Jumlah raka'at shalat Tarawih beserta dalil-dalilnya
- Kaifiyah shalat Tarawih, 4+4+3, 2+2+2+2+3, dan 2+2+2+2+2+1
- Sejarah Shalat Tarawih di Masjid Nabawi. Mengapa menurut hadist Rasulullah melaksanakan Tarawih 11 raka'at tetapi realitasnya di Masjid Nabawi dan Masjidil Haram adalah 23 rakaat.
(terjadi kesalahan conversi teks Arab sehingga tidak bisa dibaca.. mohon maaf)
H. Sejarah Singkat Salat Tarawih di Masjid Nabawi di Madinah

di Masjid beliau adalah sebelas rakaat karena Nabi saw salat tarawih sebelas rakaat sesuai hadis ‘Ā’isyah. Praktik sebelas rakaat di zaman Nabi saw ini berlanjut terus hingga zaman ‘Umar ketika ia menertibkan pelaksanaan jamaah tarawih di Masjid itu pada tahun
14/635 di mana ia memerintahkan supaya dilakukan sebelas rakaat. Tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa ‘Umar pernah mengubah kebijakannya, bahkan juga tidak ada riwayat yang sahih bahwa dua khalifah sesudahnya (‘Uṡmān dan ‘Alī) pernah mengubah kebijakan itu, sehingga dapat diduga kuat bahwa selama masa Khulafa Rasyidin salat tarawih di Masjid Nabawi adalah sebelas rakaat.
Ibn al-Mulaqqin menyebutkan bahwa pada mulanya ‘Umar memerintahkan sebelas rakaat, kemudian mengubahnya menjadi dua puluh rakaat, kemudian pada akhir pemerintahannya, Mu‘āwiyah mengubahnya menjadi tiga puluh enam rakaat. Tetapi ia tidak menunjukkan bukti riwayat bahwa ‘Umar pernah mengubahnya dari sebelas menjadi dua puluh. Ia hanya menyimpulkan dengan menjamak (memadukan) asar Yazīd Ibn Khuṣaifah dengan asar Muḥammad Ibn Yūsuf. Menurut penulis asar Yazīd Ibn Khuṣaifah (Nas 44-45) itu apabila memang sahih hanya menunjukkan bahwa beberapa Sahabat di zaman ‘Umar melakukan tarawih dua puluh rakaat, bukan menyatakan perintah ‘Umar untuk mengubah salat tarawih secara resmi di Masjid Nabi saw dari salat sebelas rakaat menjadi salat dua puluh rakaat. Ini artinya salat tarawih sebelas rakaat berlangsung terus hingga diubah oleh Mu‘āwiyah pada akhir masa pemerintahannya (w. 60/680) beberapa tahun sebelum Perang al-Ḥarrah (63/683). Sejak itu salat tarawih di Masjid Nabawi adalah tiga puluh sembilan rakaat termasuk witir dan ini berlangsung hingga abad ke 4 H. Pada abad ke-4 ini, saat Madinah dan negeri Hijaz dikuasai Dinasti Fatimiah yang beraliran Syiah, salat tarawih diubah menjadi dua puluh rakaat. Ini berlangsung hingga abad ke-8 H, ketika dikembalikan menjadi tiga puluh enam rakaat (tambah witir tiga rakkat menjadi tiga puluh sembilan rakaat) oleh Imam al-‘Irāqī (w. 806/1403)
dengan pelaksanaan dua tahap: dua puluh rakaat pada awal malam dan enam belas rakaat pada akhir malam (menjelang subuh). Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1344/1926 saat Dinasti Saudi berkuasa di Jazirah Arab. Sejak tahun 1344/1926 hingga sekarang salat tarawih dilaksanakan dua puluh rakaat. Apabila kita harus memilih praktik periode mana yang harus dicontoh tentu praktik pada masa Nabi saw yang harus kita ambil, karena yang menjadi hujah itu adalah praktik Rasulullah saw sesuai sabda beliau agar salat seperti yang beliau lakukan.12
I. Kaifiat Salat Tarawih
Dalam praktik yang dijalankan oleh mereka yang melaksanakan salat tarawih sebelas rakaat ada beberapa kaifiat yang berlaku. Pertama, salat tarawih dilaksanakan dengan empat- empat-tiga rakaat (4+4+3) sesuai dengan hadis ‘Ā’isyah di atas atau dua rakaat satu salam tambah tiga rakaat witir (2+2+2+2+3).
Kedua, ada pula yang melaksanakan dengan didahului dengan salat sunat dua rakaat ringan, kemudian dilanjutkan sebelas rakaat dengan tarawih empat-empat rakat dan witir tiga rakaat (2 rakaat ringan, dilanjutkan dengan 4+4+3), atau dimulai dengan dua rakaat ringan, kemudian dilanjutkan sebelas rakaat dengan dua rakaat satu salam tambah satu rakaat witir (2 rakaat ringan dilanjutkan dengan

12 Dikutip dari Syamsul Anwar, Salat Tarawih, h. 422-424.
13Himpunan Putusan Tarjih, h. 172, dan 183-184.
14Tutunan Ramadan, cet. ke-2, h.
J. Fatwa Tarjih15
Sehubungan dengan adanya pertanyaan tentang adanya pendapat bahwa salat Tarawih empat rakaat sekali salam adalah batal, Majelis Tarjih dan Tajdid mengeluarkan penjelasan sebagai berikut.
Kemudian berikut ini kami sebutkan lebih dahulu beberapa hadis yang berhubungan dengan salat malam (qiyāmul-lail/qiyāmu Ramaḍān), terjemahnya, serta penjelasannya, sebelum sampai pada kesimpulannya.
1. Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhārī dari ’Ā’isyah r.a.
Dari ‘Ā’isyah, istri Nabi saw, (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah Rasulullah saw melakukan salat pada waktu antara setelah selesai Isya yang dikenal orang dengan ‘Atamah hingga Subuh sebanyak sebelas rakaat di mana beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau salat witir satu rakaat [HR Muslim].
2. Hadis Nabi saw riwayat Muslim dari ‘Ā’isyah r.a.

15 Disalin kembali dari fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid, Jumat 4
Syakban 1431 H / 16 Juli 2010 M, tetapi dilakukan editing baik mengenai
tehnis penulisan maupun hadis-hadis dengan mengutip langsung kepada
sumber asli.
Dari ‘Ā’isyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah Rasulullah saw salat malam tiga belas rakaat, beliau berwitir dengan lima rakaat dan beliau sama sekali tidak duduk (di antara rakaat-rakaat itu) kecuali pada rakaat terakhir [HR Muslim].
3. Hadis Nabi saw riwayat al-Bukhārī dan Muslim dari ‘Ā’isyah r.a.
Dari Abī Salamah Ibn ‘Abd ar-Raḥmān (diriwayatkan) bahwa ia bertanya kepada ‘Ā’isyah mengenai bagaimana salat Rasulullah saw di bulan Ramadhan. ‘Ā’isyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan salat sunat di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat tiga rakaat [HR al-Bukhārī dan Muslim].
Hadis no. 1 menunjukkan bahwa Nabi saw pernah melakukan salat malam dengan kaifiat dua rakaat lima kali salam dan witir satu rakaat. Hadis no. 2 menunjukkan bahwa Nabi saw salat delapan
rakaat, tetapi tidak diterangkan berapa kali salam. Adapun hadis no.
3 menunjukkan bahwa Nabi saw salat malam di bulan Ramadan
delapan rakaat dengan dua kali salam, artinya tiap empat rakaat sekali salam, kemudian dilanjutkan salat witir tiga rakaat dan salam.
Mungkin timbul pertanyaan: dari mana kita memperoleh pengertian sesudah salat empat rakaat lalu salam? Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut: Pertama, dari perkataan فتِيك (bagaimana) yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang
kaifiat salat qiyam Ramadan disamping juga menerangkan jumlah rakaatnya. Kedua, kaifiat itu diperoleh dari lafal اتِعبرأ لِّتِصي . Lafal itu
mengandung makna bersambung (لتِصولا) secara zahir (رهاتِظ), yakni menyambung empat rakaat dengan sekali salam, dan bisa mengandung makna bercerai (لتِتِصفلا), yakni menceraikan atau memisahkan dua rakaat salam kemudian dua rakaat salam. Namun
makna bersambung itu yang lebih nyata dan makna bercerai jauh
dari yang dimaksud (دارتِملا نتِم دتِيعب). Demikian ditegaskan oleh Imam aṣ-Ṣan‘ānī dalam kitab Subulus-Salām (Juz 2: 13).
Hadis ‘Ā’isyah ini menerangkan dalam satu kaifiatsalat malam Nabi saw, disamping kaifiat yang lainnya. Hadis ‘Ā’isyah ini harus diamalkan secara utuh baik rakaat dan kaifiatnya. Hadis ‘Ā’isyah ini tidak ditakhsis oleh hadis نِتِثم نِتِثم لتِيللا ةلاص (salat malam harus dua
rakaat dua rakaat), dan hadis tersebut tidak mengandung pengertian ḥaṣr seperti dikatakan oleh Muḥammad bin Naṣar. Imam an-Nawawī dalam Syaraḥ Muslim mengatakan bahwa salat malam dengan empat rakaat boleh sekali salam (ةدتِتِحاو ةميلتِتِست) dengan
ungkapan beliau زاوتِتِلْا ناتِتِبي اذتِتِهو (salam sesudah empat rakaat menerangkan hukum boleh (jawaz)). Perkataan an-Nawawī tersebut dikomentari oleh Naṣīruddīn al-Albānī dalam bukunya يواتْتِلا ةلاتِص sebagai berikut,
Dan sungguh benar ucapan Imam an-Nawawī raḥimahullah itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua rakaat di mana apabila salat empat rakaat dengan satu salam, maka tidak sah, sebagaimana terdapat dalam Kitāb al-Fiqh ’alā al-Mażāhib al- Arba‘ah dan Syarḥ al-Qasṭallānī terhadap Ṣaḥīḥ al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadis (’Ā’isyah) yang sahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) an-Nawawī yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal an-Nawawī salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam mazhab Syafii. Hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapapun juga yang berfatwa menyalahi ucapan beliau itu [Ṣalātut-Tarāwīḥ, h. 17-
18].
Sebagaimana diketahui hadis ‘Ā’isyah itu yang diriwayatkan al-Bukhārī dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding dengan hadis- hadis lainnya tentang qiyam Ramadan. Sehubungan hal itu Ibn Qayyim al-Jauziyyah menulis di dalam kitab Zādul-Ma‘ād,
Dan apabila lbn ‘Abbās berbeda pendapat dengan ‘Ā’isyah mengenai sesuatu hal menyangkut salat malam Nabi saw, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat ‘Ā’isyah r.a. Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibn ‘Abbās, itulah yang jelas, karena ‘Ā’isyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu.‘Ā’isyah orang yang lebih mengerti tentang salat malam Nabi saw, sedangkan Ibn ‘Abbās hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah r.a.) [Zadul Ma’ad, 1:
244].
Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukānī bahwa kebanyakan ulama mengatakan bahwa salat Tarawih dua rakaat satu salam hanya sekedar menunjukkan segi afdal (utama) saja, bukan memberi faedah ḥaṣr (wajib), karena ada riwayat yang sahih dari Nabi saw bahwa beliau melakukan salat malam empat rakaat
dengan satu salam. Hadis نِتِثم نِتِثم لتِيللا ةلاتِص hanya untuk memberi pengertian petunjuk (irsyād) kepada sesuatu yang meringankan
saja, artinya salat dua rakaat dengan satu salam lebih ringan
ketimbang empat rakaat sekali salam.
Lebih jauh disebutkan dalam kitab Nailul-Auṭār, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai mana yang lebih utama (afdal) antara menceraikan (لتِصفلا = memisahkan 4 rakaat
menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan bersambung (لتِتِصولا = empat rakaat dengan satu salam). Sedangkan Imam Muḥammad Ibn Naṣr menyatakan sama saja afdalnya antara menceraikan (لصفلا) dan menyambung (لتِصولا), mengingat ada hadis sahih bahwa Nabi saw berwitir lima rakaat, beliau tidak duduk
kecuali pada rakaat yang kelima, serta hadis-hadis lainnya yang menunjukkan kepada bersambung (لصولا) [Nailul-Auṭaar: 2: 38-39].
Mengenai pendapat atau fatwa Syeikh ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz dalam Majmū‘ Fatāwā-nya dan Dr. Ṣāliḥ Fauzān Ibn ‘Abdillāh al- Fauzān dalam bukunya يتِقفلا تِخللما yang mengatakan salat empat
rakaat sekali salam itu salah dan menyalahi sunnah, pendapat itu justru menentang sunnah dan terkesan ekstrim. Hal itu sama juga dengan pendapat sementara orang di Indonesia yang menyatakan salat empat rakaat dengan satu salam adalah ngawur. Mereka itu sangat terpengaruh dengan pendapat sebahagian ulama Syafi’i yang fanatik dalam hal tersebut seperti disebutkan oleh Muḥammad Naṣīruddīn al-Albānī.
Menurut hemat kami Syeikh ‘Abd al-‘Azīz Ibn Bāz, dalam bidang akidah berpegang kepada ajaran yang dikembangkan oleh Muḥammad Ibn‘Abd al- Wahhāb, sedang dalam bidang fikih sangat dipengaruhi oleh paham Aḥmad IbnḤambal (Hanbali), dan itu umum dianut penduduk Saudi Arabia.
Ahli hadis Indonesia seperti Prof. Dr. T.M. Hasbi ash-Shiddieqy (dalam bukunya Pedoman Salat, hal 514, begitu juga dalam Koleksi Hadis-Hadis Hukum, V: 130), begitu pula A. Hassan pendiri Persatuan Islam, ahli hadis juga, dalam bukunya Pelajaran Salat, h.
283-284, kedua beliau itu berpendapat bahwa salat tarawih (qiyam
Ramadan) empat rakaat sekali salam adalah sah, itu salah satu kaifiat salat malam yang dikerjakan oleh Nabi saw.
Sebagai informasi tambahan kami kutip di sini apa yang ditulis
Imam an-Nawawī dalam kitab al-Majmū’ (syarah al-Muhażżab, V:
55), “Al-Qāḍī Ḥusain berpendapat bahwa apabila salat Tarawih dilakukan dua puluh rakaat, maka tidak boleh / tidak sah dikerjakan empat rakaat sekali salam, tetapi harus dua rakaat sekali salam.” Jadi bukan yang dimaksud oleh beliau itu salat tarawih delapan rakaat.
Berdasarkan hasil kaji ulang kami sebagaimana uraian/ penjelasan di atas, maka menurut hemat kami hadis tentang salat tarawih empat rakaat sekali salam tidak bermasalah, baik dari sisi matan maupun sanadnya. Dalam buku Tuntunan Ramadan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang diterbitkan oleh Penerbit Suara Muhammadiyah, telah disebutkan bahwa jumlah rakaat salat tarawih empat rakaat satu salam dan dua rakaat satu salam merupakan tanawuk dalam beribadah, sehingga keduanya dapat diamalkan.
SHALAT TARAWIH NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DAN SALAFUSH SHALIH
Oleh
Abu Hamzah Al Sanuwi Lc, M.Ag
Abu Hamzah Al Sanuwi Lc, M.Ag
Shalat tarawih adalah bagian dari shalat nafilah (tathawwu’). Mengerjakannya disunnahkan secara berjama’ah pada bulan Ramadhan, dan sunnah muakkadah. Disebut tarawih, karena setiap selesai dari empat rakaat, para jama’ah duduk untuk istirahat.
Tarawih adalah bentuk jama’ dari tarwihah. Menurut bahasa berarti jalsah (duduk). Kemudian duduk pada bulan Ramadhan setelah selesai dari empat raka’at disebut tarwihah; karena dengan duduk itu, orang-orang bisa istirahat dari lamanya melaksanakan qiyam Ramadhan.
Bahkan para salaf bertumpu pada tongkat, karena terlalu lamanya berdiri. Dari situ,kemudian setiap empat raka’at, disebut tarwihah, dan kesemuanya disebut tarawih secara majaz.
Aisyah Radhiyallahu anhuma ditanya: “Bagaimana shalat Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadhan?” Dia menjawab, “Beliau tidak pemah menambah -di Ramadhan atau di luarnya- lebih dari 11 raka’at. Beliau shalat empat rakaat, maka jangan ditanya tentang bagusnya dan lamanya. Kemudian beliau shalat 3 raka’at.” [HR Bukhari]
.
Kata ثم (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jeda waktu.
.
Kata ثم (kemudian), adalah kata penghubung yang memberikan makna berurutan, dan adanya jeda waktu.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat empat raka’at dengan dua kali salam, kemudian beristirahat. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah Radhiyallahu anhuma, “Adalah Rasulullah melakukan shalat pada waktu setelah selesainya shalat Isya’, hingga waktu fajar, sebanyak 11 raka’at, mengucapkan salam pada setiap dua raka’at, dan melakukan witir dengan saturaka’at.” [HR Muslim].
Juga berdasarkan keterangan Ibn Umar Radhiyallahu anhuma, bahwa seseorang bertanya, “Wahai Rasulullah,bagaimana shalat malam itu?” Beliau menjawab,
مَشْنَى مَشْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِِرْ بِوَا حِدَةِ
“Yaitu dua raka’at-dua raka’at, maka apabila kamu khawatir (masuk waktu) shubuh, berwitirlah dengan satu raka’at. [HR Bukhari]
Dalam hadits Ibn Umar yang lain disebutkan:
صَلاَةُ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ رَكْعَتَانِ رَكْعَتَانِ
“Shalat malam dan siang dua raka’at-dua raka’at”. [HR Ibn Abi Syaibah. Ash Shalah, 309; At Tamhid, 5/251; Al Hawadits, 140-143; Fathul Bari, 4/250; Al Ijabat Al Bahiyyah,18; Al Muntaqa,4/49-51]
FADHILAH SHALAT TARAWIH
1.Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ اِيْمَانَا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْذنْبِه
“Barang siapa melakukan qiyam (lail) pada bulan Ramadhan, karena iman dan mencari pahala, maka diampuni untuknya apa yang telah lalu dari dosanya.”
Maksud qiyam Ramadhan, secara khusus, menurut Imam Nawawi adalah shalat tarawih. Hadits ini memberitahukan, bahwa shalat tarawih itu bisa mendatangkan maghfirah dan bisa menggugurkan semua dosa; tetapi dengan syarat karena bermotifkan iman; membenarkan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah dan mencari pahala tersebut dari Allah. Bukan karena riya’ atau sekedar adat kebiasaan. [Fathul Bari 4/251; Tanbihul Ghafilin 357-458; Majalis Ramadhan, 58; AtTamhid, 3/320; AI Ijabat Al Bahiyyah, 6]
Hadits ini dipahami oleh para salafush shaalih, termasuk oleh Abu Hurairah sebagai anjuran yang kuat dari Rasulullah untuk melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih, tahajud, dan lain-lain). [At Tamhid, 3/311-317: Sunan Abi Daud, 166]
2. Hadits Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu anhu,
إِِنَّ رَمَضَانَ شَهْرٌ فَرَضَ اللَّهُ صِيَامَهُ وَإِنِّي سَنَنْتُ لِلْمُسلِمِيْنَ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِعيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنَْ الذُّنُوبْ كَيَوْم وَلَدَتْهُ أُمُّه
“Sesungguhnya Ramadhan adalah bulan dimana Allah mewajibkan puasanya, dan sesungguhnya aku menyunnahkan qiyamnya untuk orang-orang Islam. Maka barang siapa berpuasa Ramadhan dan qiyam Ramadhan karena iman dan mencari pahala, maka ia (pasti) keluar dari dosa-dosanya sebagaimana pada hari ia dilahirkan oleh ibunya.(HR : Ahmad, Ibnu Majah. Al Bazzar, Abu Ya’la dan Abdur Razzaqmeriwayatkannya dari Abu Hurairah.)
Al Albani berkata, “Yang shahih hanya kalimat yang kedua saja, yang awal dha’if.”[Lihat Sunan lbn Majah, 146,147; AlIjabat Al Bahiyyah, 8-10]
3. Hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu,
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة
“Barang siapa qiyamul lail bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya (pahala) qiyam satu malam (penuh).” [HR Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah, Nasa’i, dan lain-lain, Hadits shahih. Lihat Al ljabat Al Bahiyyah, 7]
Hadits ini sekaligus juga memberikan anjuran, agar melakukan shalat tarawih secara berjamaah dan mengikuti imam hingga selesai.
Ada sebagian orang berpendapat,shalat Tarawih berjama’ah baru dikerjakan pada zaman khalifah Umar binKhaththab. Benarkah demikian? Mari kita tengok sejarah melalui hadits-hadits serta riwayat-riwayat shahih apa yang terjadi pada zaman Nabi dan bagaimana yang terjadi pada masa Khulafa’ur Rasyidin.
SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN NABI SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan dan memimpin shalat tarawih. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan fadhilahnya, dan menyetujui jama’ah tarawih yang dipimpin oleh sahabat Ubay bin Ka’ab. Berikut ini adalah dalil-dalil yang menjelaskan, bahwa shalat tarawih secara berjama’ah disunnahkan oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan dilakukan secara khusyu’ dengan bacaan yang panjang.
1. Hadits Nu’man bin Basyir, Radhiyallahu anhu : Ia berkata: “Kami melaksanakan qiyamul lail (tarawih) bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada malam 23 bulan Ramadhan, sampai sepertiga malam. Kemudian kami shalat lagi bersama beliau pada malam 25 Ramadhan (berakhir) sampai separoh malam. Kemudian beliau memimpin lagi pada malam 27 Ramadhan sampai kami menyangka tidak akan sempat mendapati sahur.” [HR. Nasa’i, Ahmad, Al Hakim. Shahih]
2. Hadits Abu Dzar Radhiyallahu anhu : Ia berkata: “Kami puasa, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin kami untuk melakukan shalat (tarawih), hingga Ramadhan tinggal tujuh hari lagi, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat, sampai lewat sepertiga malam. Kemudian beliau tidak keluar lagi pada malam ke enam. Dan pada malam ke lima,beliau memimpin shalat lagi sampai lewat separoh malam. Lalu kami berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seandainya engkau menambah lagi untuk kami sisa malam kita ini?’, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersada,
مَنْ قَامَ مَعَ اْلإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَة
‘Barang siapa shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai. maka ditulis untuknya shalat satu malam (suntuk).’
Kemudian beliau ٍShallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memimpin shalat lagi, hingga Ramadhan tinggal tiga hari. Maka beliau memimpin kami shalat pada malam ketiga. Beliau mengajak keluarga dan istrinya. Beliau mengimami sampai kami khawatir tidak mendapat falah. saya (perawi) bertanya, apa itu falah? Dia (Abu Dzar) berkata, “Sahur.”[HR Nasai, Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Daud, Ahmad. Shahih]
3. Tsa’labah bin Abi Malik Al Qurazhi Radhiyallahu anhu berkata: “Pada suatu malam, di malam Ramadhan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah, kemudian beliau melihat sekumpulan orang disebuah pojok masjid sedang melaksanakan shalat. Beliau lalu bertanya, ‘Apa yang sedang mereka lakukan?’ Seseorang menjawab, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak membaca Al Qur’an, sedang Ubay bin Ka’ab ahli membaca Al Qur’an, maka mereka shalat (ma’mum) dengan shalatnya Ubay.’ Beliau lalu bersabda,
قَدْ أَحْسَنُوْا وَقَدْ أَصَابُوْا
‘Mereka telah berbuat baik dan telah berbuat benar.’ Beliau tidak membencinya.”[HR Abu Daud dan Al Baihaqi, ia berkata: Mursal hasan. Syaikh Al Albani berkata, “Telah diriwayatkan secara mursal dari jalan lain dari Abu Hurairah,dengan sanad yang tidak bermasalah (bisa diterima).”. [Shalat At Tarawih, 9]
SHALAT TARAWIH PADA ZAMAN KHULAFA’UR RASYIDIN
1. Para sahabat Rasulullah, shalat tarawih di masjid Nabawi pada malam-malam Ramadhan secara awza’an (berpencar-pencar). Orang yang bisa membaca Al Qur’an ada yang mengimami 5 orang, ada yang 6 orang, ada yang lebih sedikit dari itu, dan ada yang lebih banyak. Az Zuhri berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang shalat tarawih dengan cara seperti itu. Kemudian pada masa Abu Bakar, caranya tetap seperti itu; begitu pula awal khalifah Umar.”
2. Abdurrahman bin Abdul Qari’ berkata, “Saya keluar ke masjid bersama Umar Radhiyallahu anhu pada bulan Ramadhan. Ketika itu orang-orang berpencaran; ada yang shalat sendirian, dan ada yang shalat dengan jama’ah yang kecil (kurang dari sepuluh orang). Umar berkata, ‘Demi Allah, saya melihat (berpandangan),seandainya mereka saya satukan di belakang satu imam, tentu lebih utama,’ Kemudian beliau bertekad dan mengumpulkan mereka di bawah pimpinan Ubay bin Ka’ab. Kemudian saya keluar lagi bersama beliau pada malam lain. Ketika itu orang-orang sedang shalat di belakang imam mereka. Maka Umar Radhiyallahu anhu berkata,’Ini adalah sebaik-baik hal baru.’ Dan shalat akhir malam nanti lebih utama dari shalat yang mereka kerjakan sekarang.” Peristiwa ini terjadi pada tahun 14H.
3. Umar Radhiyallahu anhu mengundang para qari’ pada bulan Ramadhan, lalu memberi perintah kepada mereka agar yang paling cepat bacaanya membaca 30 ayat (+/- 3 halaman), dan yang sedang agar membaca 25 ayat,adapun yang pelan membaca 20 ayat (+ 2 halaman).
4. Al A’raj (seorang tabi’in Madinah,wafat 117 H) berkata, ;”Kami tidak mendapati orang-orang, melainkan mereka sudah melaknat orang kafir (dalam do’a) pada bulan Ramadhan.” la berkata, “Sang qari’ (imam) membaca ayat Al Baqarah dalam 8 raka’at. Jika ia telah memimpin 12 raka’at, (maka) barulah orang-orang merasa kalau imam meringankan.”
5. Abdullah bin Abi Bakr berkata, “Saya mendengar bapak saya berkata,’Kami sedang pulang dari shalat (tarawih) pada malam Ramadhan. Kami menyuruh pelayan agar cepat-cepat menyiapkan makanan, karena takut tidak mendapat sahur’. ”
6. Saib bin Yazid rahimahullah (Wafat 91 H) berkata, “Umar Radhiyallahu anhu memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma agar memimpin shalat tarawih pada bulan Ramadhan dengan 11 raka’at. Maka sang qari’ membaca dengan ratusan ayat, hingga kita bersandar pada tongkat karena sangat lamanya berdiri. Maka kami tidak pulang dari tarawih, melainkan sudah di ujung fajar.” [Fathul Bari, 4/250-254; Shalat At Tarawih, 11; Al ljabat Al Bahiyyah,15-18; Al Majmu’, 4/34]
BILANGAN RAKA’AT SHALAT TARAWIH DAN SHALAT WITIR
Mengenai masalah ini, diantara para ulama salaf terdapat perselisihan yang cukup banyak (variasinya) hingga mencapai belasan pendapat, sebagaimana di bawah ini.
1. Sebelas raka’at (8 + 3 Witir),riwayat Malik dan Said bin Manshur.
2. Tiga belas raka’at (2 raka’atringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2),atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
3. Sembilan belas raka’at (16 + 3).
4. Dua puluh satu raka’at (20 + 1),riwayat Abdurrazzaq.
5. Dua puluh tiga raka’at (20 + 3),riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu Hanifah,Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
6. Dua puluh sembilan raka’at (28 +1).
7. Tiga puluh sembilan raka’at (36 +3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
8. Empat puluh satu raka’at (38 +3), riwayat Ibn Nashr dari persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni 2/167.
9. Empatpuluh sembilan raka’at (40 +9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
10. Tiga puluh empat raka’at tanpa witir (di Basrah, Iraq).
11. Dua puluh empat raka’at tanpa witir (dari Said Ibn Jubair).
12. Enam belas raka’at tanpa witir.
2. Tiga belas raka’at (2 raka’atringan + 8 + 3 Witir), riwayat Ibnu Nashr dan Ibnu Ishaq, atau (8 + 3 + 2),atau (8 + 5) menurut riwayat Muslim.
3. Sembilan belas raka’at (16 + 3).
4. Dua puluh satu raka’at (20 + 1),riwayat Abdurrazzaq.
5. Dua puluh tiga raka’at (20 + 3),riwayat Malik, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Demikian ini adalah madzhab Abu Hanifah,Syafi’i, Ats Tsauri, Ahmad, Abu Daud dan Ibnul Mubarak.
6. Dua puluh sembilan raka’at (28 +1).
7. Tiga puluh sembilan raka’at (36 +3), Madzhab Maliki, atau (38 + 1).
8. Empat puluh satu raka’at (38 +3), riwayat Ibn Nashr dari persaksian Shalih Mawla Al Tau’amah tentang shalatnya penduduk Madinah, atau (36 + 5) seperti dalam Al Mughni 2/167.
9. Empatpuluh sembilan raka’at (40 +9); 40 tanpa witir adalah riwayat dari Al Aswad Ibn Yazid.
10. Tiga puluh empat raka’at tanpa witir (di Basrah, Iraq).
11. Dua puluh empat raka’at tanpa witir (dari Said Ibn Jubair).
12. Enam belas raka’at tanpa witir.
BERAPA RAKA’AT TARAWIH RASULULLAH SHALLALLAHU A’ALAIHI WA SALLAM ?
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan dan memimpin shalat tarawih, terdiri dari sebelas raka’at (8 +3). Dalilnya sebagai berikut.
1. Hadits Aisyah Radhiyallahu anhuma : ia ditanya oleh Abu Salamah Abdur Rahman tentang qiyamul lailnya Rasul pada bulan Ramadhan, ia menjawab:
إنَّهُ كَانَ لاَ يَزِيْدُ فِي رَمَضَانَ وَلاَ فِي غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ
“Sesungguhnya beliau tidak pernah menambah pada bulan Ramadhan, atau pada bulan lainnya. lebih dari sebelas raka’at. [HR Bukhari, Muslim]
Ibn Hajar berkata, “Jelas sekali, bahwa hadits ini menunjukkan shalatnya Rasul (adalah) sama semua di sepanjang tahun.”
2. Hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu anhu ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan kami pada bulan Ramadhan 8 raka’at dan witir. Ketika malam berikutnya, kami berkumpul di masjid dengan harapan beliau shalat dengan kami. Maka kami terus berada di masjid hingga pagi, kemudian kami masuk bertanya, “Ya Rasulullah, tadi malam kami berkumpul di masjid, berharap anda shalat bersama kami,” maka beliau bersabda, “Sesungguhnya aku khawatir diwajibkan atas kalian. “[HR Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Huzaimah, dihasankan oleh Al Albani. ShalatAt Tarawih, 18; Fath Al Aziz 4/265]
3. Pengakuan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang 8 raka’atdan 3 witir. Ubay bin Ka’ab datang kepada Rasulullah, lalu berkata,”Ya Rasulullah, ada sesuatu yang saya kerjakan tadi malam (Ramadhan). Beliau bertanya,”Apa itu, wahai Ubay?” Ia menjawab,”Para wanita di rumahku berkata,’Sesungguhnya kami ini tidak membaca Al Qur’an. Bagaimana kalau kami shalat dengan shalatmu?’ Ia berkata,”Maka saya shalat dengan mereka 8 raka’at dan witir. Maka hal itu menjadi sunnah yang diridhai. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan apa-apa.”[HR Abu Ya’la, Thabrani dan Ibn Nashr, dihasankan oleh Al Haitsami dan Al Albani. Lihat Shalat At-Tarawih, 68].
Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah shalat tarawih dengan 20 raka’at, maka haditsnya tidak ada yang shahih. [Fathul Bari, 4/254; Al Hawi. 1/413; Al Fatawa Al Haditsiyah, 1.195: ShalatAt Tarawih, 19-21]
BERAPA RAKAAT TARAWIH SAHABAT DAN TABIIN PADA MASA UMAR RADHIYALLAHU ANHU?
Ada beberapa riwayat shahih tentang bilangan raka’at shalat tarawih para sahabat pada zaman Umar Radhiyallahu anhu . Yaitu: 11 raka’at, 13 raka’at, 21 raka’at, dan 23 raka’at. Kemudian 39 raka’at juga shahih, pada masa Khulafaur Rasyidin setelah Umar; tetapi hal ini khusus di Madinah. Berikut keterangan pada masa Umar
1. Sebelas raka’at.
Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid. Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih. Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.
Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada Ubay danTamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma untuk shalat 11 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, sampai makmum bersandar pada tongkat karena kelamaan dan selesai hampir Subuh. Demikian ini riwayat Imam Malik dari Muhammad bin Yusuf dari Saib Ibn Yazid. Imam Suyuthi dan Imam Subkhi menilai, bahwa hadits ini sangat shahih. Syaikh Al Albani juga menilai, bahwa hadits ini shahih sekali.
2. Tiga belas raka’at.
Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 raka’at. Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
Semua perawi dari Muhammd Ibn Yusuf mengatakan 11 raka’at, kecuali Muhammad Ibn Ishaq. Ia berkata 13 raka’at (HR Ibn Nashr), akan tetapi hadits ini sesuai dengan hadits ‘Aisyah yang mengatakan 11 raka’at. Hal ini bisa dipahami, bahwa termasuk dalam bilangan itu ialah 2 raka’at shalat Fajar, atau 2 raka’at pemula yang ringan, atau 8 raka’at ditambah 5 raka’at Witir.
3. Dua puluh raka’at (ditambah 1 atau 3 raka’at Witir).
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih). Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Muhammad Ibn Yusuf dengan lafadz “21 raka’at” (sanad shahih). Al Baihaqi dalam As Sunan dan Al Firyabi dalam Ash Shiyam meriwayatkan dari jalur Yazid Ibn Khushaifah dari SaibIbn Yazid, bahwa mereka- pada zaman Umar di bulan Ramadhan shalat tarawih 20 raka’at. Mereka membaca ratusan ayat, dan bertumpu ‘pada tongkat pada zaman Utsman, karena terlalu lama berdiri.
Riwayat ini dishahihkan oleh Imam Al Nawawi, Al Zaila’i, Al Aini, Ibn Al Iraqi, Al Subkhi, As Suyuthi, Syaikh Abdul Aziz bin Bazz, dan lain-lain.
Sementara itu Syaikh Al Albani menganggap, bahwa dua riwayat ini bertentangan dengan riwayat sebelumnya, tidak bisa dijama’ (digabungkan). Maka beliau memakai metode tarjih (memilih riwayat yang shahih dan meninggalkan yang lain). Beliau menyatakan, bahwa Muhammad Ibn Yusuf perawi yang tsiqah tsabit (sangat terpercaya), telah meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid 11 raka’at. Sedangkan Ibn Khushaifah yang hanya pada peringkat tsiqah (terpercaya) meriwayatkan 21 raka’at. Sehingga hadits Ibn Khushaifah ini -menurut beliau-adalah syadz (asing, menyalahi hadits yang lebih shahih). [Al Majmu’, 4/32; Shalat At Tarawih, 46; Al Ijabat Al Bahiyyah. 16-18]
Perlu diketahui, selain Ibn Khushaifah tadi, ada perawi lain, yaitu Al Harits Ibn Abdurrahman Ibn Abi Dzubab yang meriwayatkan dari Saib Ibn Yazid, bahwa shalat tarawih pada masa Umar 23raka’at. [HR Abdurrazzaq. Lihat At Tamhid 3/518-519]
Selanjutnya 23 raka’at diriwayatkan juga dari Yazid Ibn Ruman secara mursal, karena ia tidak menjumpai zaman Umar.
Yazid Ibn Ruman adalah mawla (mantan budak) sahabat Zubair Ibn Al Awam (36 H), ia salah seorang qurra’ Madinah yang tsiqat tsabit (meninggal pada tahun 120 atau130 H). Ia memberi pernyataan, bahwa masyarakat (Madinah) pada zaman Umar telah melakukan qiyam Ramadhan dengan bilangan 23 raka’at. [HR Malik, Al Firyabi, Ibn Nashr dan Al Baihaqi. Lihat Shalat At Tarawih,53; Al Ijabat Al Bahiyyah, 16; At Tamhid, 9/332, 519; Al Hawadits, 141]
BAGAIMANA JALAN KELUARNYA?
Jumhur ulama mendekati riwayat-riwayat di atas dengan metode al jam’u, bukan metode at tarjih, sebagaimana yang dipilih oleh Syaikh Al Albani. Dasar pertimbangan jumhur adalah:
1. Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.
2. Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.
3. Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
4. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
1. Riwayat 20 (21, 23) raka’at adalah shahih.
2. Riwayat 8 (11, 13) raka’at adalah shahih.
3. Fakta sejarah menurut penuturan beberapa tabi’in dan ulama salaf.
4. Menggabungkan riwayat-riwayat tersebut adalah mungkin, maka tidak perlu pakai tarjih, yang konsekuensinya adalah menggugurkan salah satu riwayat yang shahih.
BEBERAPA KESAKSIAN PELAKU SEJARAH
1. Imam Atho’ Ibn Abi Rabah mawla Quraisy, (budak yang dimerdekakan ole Quraisy) lahir pada masa Khilafah Utsman Radhiyallahu anhu (antara tahun 24 Hsampai 35 H), yang mengambil ilmu dari Ibn Abbas Radhiyallahu anhu, (wafat 67 / 68 H), Aisyah Radhiyallahu anuhma dan yang menjadi mufti Mekkah setelah Ibn Abbas hingga tahun wafatnya 114 H) memberikan kesaksian: “Saya telah mendapati orang-orang (masyarakat Mekkah) pada malam Ramadhan shalat 20 raka’at dan 3raka’at witir.” [Fathul Bari, 4/235]
2. Imam Nafi’ Al Qurasyi,(mawla (mantan budak) Ibn Umar Radhiyallahu ahu (wafat 73 H), mufti Madinah yang mengambil ilmu dari Ibn Umar, Abu Said, Rail’ Ibn Khadij, Aisyah, Abu Hurairah dan Ummu Salamah, yang dikirim oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz ke Mesir sebagai da’i dan meninggal di Madinah pada tahun 117 H) telah memberikan kesaksian sebagai berikut: “Saya mendapati orang-orang (masyarakat Madinah); mereka shalat pada bulan Ramadhan 36 raka’at dan witir 3 raka’at.” [Al Hawadits, 141; Al Hawi, 1/415]
3. Daud Ibn Qais bersaksi, “Saya mendapati orang-orang di Madinah pada masa pemerintahan Aban Ibn Utsman Ibn Affan Al Umawi (Amir Madinah, wafat 105 H) dan Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (Al Imam Al Mujtahid,wafat 101 H) melakukan qiyamulail (Ramadhan) sebanyak 36 raka’at ditambah 3 witir.” [Fathul Bari, 4/253]
4. Imam Malik Ibn Anas (wafat 179 H) yang menjadi murid Nafi’ berkomentar, “Apa yang diceritakan oleh Nafi’, itulah yang tetap dilakukan oleh penduduk Madinah. Yaitu apa yang dulu ada pada zaman Utsman Ibn Affan Radhiyallahu anhu.” [Al Hawadits, 141]
5. Imam Syafi’i, murid Imam Malik yang hidup antara tahun 150 hingga 204 H. mengatakan, “Saya menjumpai orang-orang di Mekkah. Mereka shalat (tarawih, red.) 23 raka’at. Dan saya melihat penduduk Madinah, mereka shalat 39 raka’at, dan tidak ada masalah sedikitpun tentang hal itu.” [Sunan Thmidzi, 151; Fath Al Aziz, 4/266; Fathul Bari, 4/23]
BEBERAPA PEMAHAMAN ULAMA DALAM MENGGABUNGKAN RIWAYAT-RIWAYAT SHAHIH DI ATAS
1. Imam Syafi’i, setelah meriwayatkan shalat di Mekkah 23 raka’at dan di Madinah 39 raka’at berkomentar, “Seandainya mereka memanjangkan bacaan dan menyedikitkan bilangan sujudnya, maka itu bagus. Dan seandainya mereka memperbanyak sujud dan meringankan bacaan, maka itu juga bagus; tetapi yang pertama lebih aku sukai.” [Fathul Bari, 4/253]
2. Ibn Hibban (wafat 354 H) berkata, “Sesungguhnya tarawih itu pada mulanya adalah 11 raka’at dengan bacaan yang sangat panjang hingga memberatkan mereka. Kemudian mereka meringankan bacaan dan menambah bilangan raka’at, menjadi 23 raka’at dengan bacaan sedang. Setelah itu mereka meringankan bacaan dan menjadikan tarawih dalam 36 raka’at tanpa witr.” [Fiqhus Sunnah, 1/174]
3. Al Kamal Ibnul Humam mengatakan,”Dalil-dalil yang ada menunjukkan, bahwa dari 20 raka’at itu, yang sunnah adalah seperti yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan sisanya adalah mustahab.” (Ibid, 1/175
4. Al Subkhi berkata, “Tarawih adalah termasuk nawafil. Terserah kepada masing-masing, ingin shalat sedikit atau banyak. Bolehjadi mereka terkadang memilih bacaan panjang dengan bilangan sedikit, yaitu 11raka’at. Dan terkadang mereka memilih bilangan raka’at banyak, yaitu 20 raka’atdaripada bacaan panjang, lalu amalan ini yang terus berjalan.” [Al Hawi,1/417]
5. Ibn Taimiyah berkata, “Ia boleh shalat tarawih 20 raka’at sebagaimana yang mashur dalam madzhab Ahmad dan Syafi’i. Boleh shalat 36 raka’at sebagaimana yang ada dalam madzhab Malik. Boleh shalat 11 raka’at, 13 raka’at. Semuanya baik. Jadi banyaknya raka’at atau’ sedikitnya tergantung lamanya bacaan dan pendeknya.” Beliau juga berkata,”Yang paling utama itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan orang yang shalat. Jika mereka kuat 10 raka’at ditambah witir 3 raka’at sebagaimana yang diperbuat oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Ramadhan dan di luar Ramadhan-maka ini yang lebih utama. Kalau mereka kuat 20 raka’at, maka itu afdhal dan inilah yang dikerjakan oleh kebanyakan kaum muslimin, karena ia adalah pertengahan antara 10 dan 40. Dan jika ia shalat dengan 40 raka’at, maka boleh, atau yang lainnya juga boleh. Tidak dimaksudkan sedikitpun dari hal itu, maka barangsiapa menyangka, bahwa qiyam Ramadhan itu terdiri dari bilangan tertentu, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang, maka ia telah salah.” [Majmu’ Al Fatawa, 23/113; Al Ijabat Al Bahiyyah, 22; Faidh Al Rahim Al Kalman,132; Durus Ramadhan,48]
6. Al Tharthusi (451-520 H) berkata, Para sahabat kami (Malikiyah) menjawab dengan jawaban yang benar, yang bisa menyatukan semua riwayat. Mereka berkata,”Mungkin Umar pertama kali memerintahkan kepada mereka 11 raka’at dengan bacaan yang amat panjang. Pada raka’at pertama, imam membaca sekitar dua ratus ayat, karena berdiri lama adalah yang terbaik dalam shalat. Tatkala masyarakat tidak lagi kuat menanggung hal itu, maka Umar memerintahkan 23 raka’at demi meringankan lamanya bacaan. Dia menutupi kurangnya keutamaan dengan tambahan raka’at. Maka mereka membaca surat Al Baqarah dalam 8 raka’atatau 12 raka’at sesuai dengan hadits al a’raj tadi.”
Telah dikatakan, bahwa pada waktu itu imam membaca antara 20 ayat hingga 30 ayat. Hal ini berlangsung terus hingga yaumul Harrah (penyerangan terhadap Madinah oleh YazidIbn Mu’awiyyah) tahun 60 H maka terasa berat bagi mereka lamanya bacaan. Akhirnya mereka mengurangi bacaan dan menambah bilangannya menjadi 36 raka’at ditambah 3 witir. Dan inilah yang berlaku kemudian.
Bahkan diriwayatkan, bahwa yang pertama kali memerintahkan mereka shalat 36 raka’at ditambah dengan 3 witir ialah Khalifah Muawiyah Ibn Abi Sufyan (wafat 60 H). Kemudian hal tersebut dilakukan terus oleh khalifah sesudahnya. Lebih dari itu, Imam Malik menyatakan, shalat 39 raka’at itu telah ada semenjak zaman Khalifah Utsman Radhiyallahu anhu.
Kemudian Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz (wafat 101 H) memerintahkan agar imam membaca 10 ayat pada tiap raka’at. Inilah yang dilakukan oleh para imam, dan disepakati oleh jama’ah kaum muslimin, maka ini yang paling utama dari segi takhfif (meringankan). [Lihat Al Hawadits, 143-145]
7. Ada juga yang mengatakan, bahwa Umar Radhiyallahu anhu memerintahkan kepada dua sahabat, yaitu “Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Dari Radhiyallahu anhuma, agar shalat memimpin tarawih sebanyak 11 raka’at, tetapi kedua sahabat tersebut akhirnya memilih untuk shalat 21 atau 23 raka’at. [Durus Ramadhan, 47]
8. Al Hafidz Ibn Hajar berkata, “Hal tersebut dipahami sebagai variasi sesuai dengan situasi, kondisi dan kebutuhan manusia. Kadang-kadang 11raka’at, atau 21, atau 23 raka’at, tergantung kesiapan dan kesanggupan mereka.Kalau 11 raka’at, mereka memanjangkan bacaan hingga bertumpu pada tongkat. Jika 23 raka’at, mereka meringankan bacaan supaya tidak memberatkan jama’ah. [Fathul Bari, 4/253]
9. Imam Abdul Aziz Ibn Bazz mengatakan: “Diantara perkara yang terkadang samar bagi sebagian orang adalah shalat tarawih. Sebagian mereka mengira, bahwa tarawih tidak boleh kurang dari 20 raka’at. Sebagian lain mengira, bahwa tarawih tidak boleh lebih dari 11 raka’at atau 13 raka’at. Ini semua adalah persangkaan yang tidak pada tempatnya, bahkan salah; bertentangan dengan dalil. Hadits-hadits shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan, bahwa shalat malam itu adalah muwassa’ (leluasa, lentur, fleksibel). Tidak ada batasan tertentu yang kaku. yang tidak boleh dilanggar. Bahkan telah shahih dari Nabi, bahwa beliau shalat malam 11 raka’at, terkadang 13 raka’at, terkadang lebihsedikit dari itu di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Ketika ditanya tentang sifat shalat malam,beliau menjelaskan: “dua rakaat-dua raka’at, apabila salah seorang kamu khawatir subuh, maka shalatlah satu raka’at witir, menutup shalat yang ia kerjakan.” [HR Bukhari Muslim]
Beliau tidak membatasi dengan raka’at-raka’at tertentu, tidak di Ramadhan maupun di luar Ramadhan. Karena itu, para sahabat Radhiyallahu anhum pada masa Umar Radhiyallahu anhu di sebagian waktu shalat 23 raka’at dan pada waktu yang lain 11 raka’at. Semua itu shahih dari Umar Radhiyallahu anhu dan para sahabat Radhiyallahu anhum pada zamannya.
Dan sebagian salaf shalat tarawih 36 raka’at ditambah witir 3 raka’at. Sebagian lagi shalat 41 raka’at. Semua itu dikisahkan dari mereka oleh Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dan ulama lainnya. Sebagaimana beliau juga menyebutkan, bahwa masalah ini adalah luas (tidak sempit). Beliau juga menyebutkan, bahwa yang afdhal bagi orang yang memanjangkan bacaan, ruku’. sujud, ialah menyedikitkan bilangan raka’at(nya). Dan bagi yang meringankan bacaan, ruku’ dan sujud (yang afdhal) ialah menambah raka’at(nya). Ini adalah makna ucapan beliau. Barangsiapa merenungkan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia pasti mengetahui, bahwa yang paling afdhal dari semuanya itu ialah 11 raka’at atau 13 raka’at. Di Ramadhan atau di luar Ramadhan. Karena hal itu yang sesuai dengan perbuatan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kebiasaannya. Juga karena lebih ringan bagi jama’ah. Lebih dekat kepada khusyu’ dan tuma’ninah. Namun, barangsiapa menambah (raka’at), maka tidak mengapa dan tidak makruh,seperti yang telah lalu.”[Al Ijabat Al Bahiyyah, 17-18. Lihat juga Fatawa Lajnah Daimah, 7/194-198]
KESIMPULAN
Maka berdasarkan paparan di atas, saya bisa mengambil kesimpulan, antara lain:
Maka berdasarkan paparan di atas, saya bisa mengambil kesimpulan, antara lain:
1. Shalat tarawih merupakan bagian dari qiyam Ramadhan, yang dilakukan setelah shalat Isya’ hingga sebelum fajar, dengan dua raka’at salam dua raka’at salam. Shalat tarawih memiliki keutamaan yang sangat besar. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkannya -dan para sahabat punmenjadikannya- sebagai syiar Ramadhan.
2. Shalat tarawih yang lebih utama sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu bilangannya 11 raka’at. Inilah yang lebih baik. Seperti ucapan Imam Malik rahimahullah, “Yang saya pilih untuk diri saya dalam qiyam Ramadhan, ialah shalat yang diperintahkan oleh Umar Radhiyallahu anhu, yaitu 11 raka’at, yaitu (cara) shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun 11 adalah dekat dengan 13.” [Al Hawadits, 141]
3. Perbedaan tersebut bersifat variasi, lebih dari 11 raka’at adalah boleh, dan 23 raka’at lebih banyak diikuti oleh jumhur ulama, karena ada asalnya dari para sahabat pada zaman Khulafaur Rasyidin, dan lebih ringan berdirinya dibanding dengan 11 raka’at.
4. Yang lebih penting lagi adalah prakteknya harus khusyu’, tuma’ninah. Kalau bisa lamanya sama dengan tarawihnya ulama salaf, sebagai pengamalan hadits “Sebaik-baik shalat adalah yang panjang bacaanya”.
Semoga tulisan ini bermanfaat. Jika benar, maka itu dari Allah. Dan jika salah, maka itu murni dari al faqir.
Ya Allah bimbinglah kami kepada kecintaan dan ridhaMu. Dan antarkanlah kami kepada Ramadhan dengan penuh aman dan iman, keselamatan dan Islam.
Maraji’:
1.Shahih Bukhari.
2.Shahih Muslim, Maktabah Dahlan,Bandung.
3. Sunan Abu Daud, Baitul Afkar Ad Dauliyah,Amman, Yordan.
4. Sunan Tirmidzi, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
5. Sunan Ibn Majah, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
6. Sunan Nasa’i, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
7. Al Majmu’, An Nawawi, Darul Fikr.
8. Fath Al Aziz, Ar Rafi’i, Darul Fikr(dicetak bersama Al Majmu’).
9. At Tamhid, lbn Abdil Barr, tahgiqMuhammad Abdul Qadir Atha, Maktabah Abbas Ahmad Al Bazz, Mekkah.
10. Fathul Bari, Ibn Hajar, targimMuhammad Fuad Abdul Baqi.
11. Asy Syarhul Kabir, Ibn Qudamah,tahgiq Dr. Abdullah At Turkiy, Hajar, Jizah.
12. Al Hawadits Wal Bida’, Abu BakarAth Tharthusi, tahgiq Abdul Majid Turki, Darul Gharb Al Islami.
13. Tanbihul Ghafilin, As Samarqandi,tahgiq Abdul Aziz Al Wakil, Darusy Syuruq, Jeddah
14. Al Hawi Li AI Fatawa, As Suyuthi,Darul Fikr, Beirut.
15. Shalat At Tarawih, Al Alban!, AlMaktab Al Islami, Beirut.
16. Fatwa Lajnah Daimah, tartib AhmadAd Duwaisi, tartib Adil Al Furaidan.
17. AI Muntaqa Min Fatawa Al Fawzan.
18. Al Ijabat Al Bahiyyah, Al Jibrin,i’dad dan tahrij oleh Saad As Sa’dan,Darul Ashimah, Riyadh.
19. Majalis Ramndhan, Ibn Utsaimin.
20. Faidh Al Rahim, Ath Thayyar,Maktabah At Taubah, Riyadh.
21. Ash Shalah, Ath Thayyar, DarulWathan, Riyadh.
22. Durus Ramadhan, Salman Al Audah,Darul Wathan, Riyadh.
23. Majmu’ Fatawa, Ibn Taimiyah.
24. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, Darul Fikr, Beirut.
25. Al Fatawa Al Haditsiyah, Ibn HajarAl-Haitsami.
1.Shahih Bukhari.
2.Shahih Muslim, Maktabah Dahlan,Bandung.
3. Sunan Abu Daud, Baitul Afkar Ad Dauliyah,Amman, Yordan.
4. Sunan Tirmidzi, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
5. Sunan Ibn Majah, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
6. Sunan Nasa’i, Baitul Afkar AdDauliyah, Amman, Yordan.
7. Al Majmu’, An Nawawi, Darul Fikr.
8. Fath Al Aziz, Ar Rafi’i, Darul Fikr(dicetak bersama Al Majmu’).
9. At Tamhid, lbn Abdil Barr, tahgiqMuhammad Abdul Qadir Atha, Maktabah Abbas Ahmad Al Bazz, Mekkah.
10. Fathul Bari, Ibn Hajar, targimMuhammad Fuad Abdul Baqi.
11. Asy Syarhul Kabir, Ibn Qudamah,tahgiq Dr. Abdullah At Turkiy, Hajar, Jizah.
12. Al Hawadits Wal Bida’, Abu BakarAth Tharthusi, tahgiq Abdul Majid Turki, Darul Gharb Al Islami.
13. Tanbihul Ghafilin, As Samarqandi,tahgiq Abdul Aziz Al Wakil, Darusy Syuruq, Jeddah
14. Al Hawi Li AI Fatawa, As Suyuthi,Darul Fikr, Beirut.
15. Shalat At Tarawih, Al Alban!, AlMaktab Al Islami, Beirut.
16. Fatwa Lajnah Daimah, tartib AhmadAd Duwaisi, tartib Adil Al Furaidan.
17. AI Muntaqa Min Fatawa Al Fawzan.
18. Al Ijabat Al Bahiyyah, Al Jibrin,i’dad dan tahrij oleh Saad As Sa’dan,Darul Ashimah, Riyadh.
19. Majalis Ramndhan, Ibn Utsaimin.
20. Faidh Al Rahim, Ath Thayyar,Maktabah At Taubah, Riyadh.
21. Ash Shalah, Ath Thayyar, DarulWathan, Riyadh.
22. Durus Ramadhan, Salman Al Audah,Darul Wathan, Riyadh.
23. Majmu’ Fatawa, Ibn Taimiyah.
24. Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq, Darul Fikr, Beirut.
25. Al Fatawa Al Haditsiyah, Ibn HajarAl-Haitsami.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 07/Tahun VII/1424/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
No comments:
Post a Comment