LIMA CIRI
ISLAM SONTOLOYO MENURUT SOEKARNO
Soekarno
lebih mengedepankan esensi dan substansi Islam ketimbang simbol-simbol Islam
yang ia sebut sebagai, api Islam.
Soekarno
ingin menghidupkan kembali jiwa Islam sebagai ajaran Universal yang sesuai
dengan visi etik Al-Quran dan sunah Nabi Muhammad. Karena itu, Soekarno menolak
kecenderungan yang ia sebut sebagai masyarakat onta atau I
Soekarno
mendalami Islam saat berada di Ende.
Menurut H.A.
Notosoetardjo dalam "Rakyat Bertanya Bung Karno Menjawab" Soekarno
mulai menekuni ajaran Islam saat berada di Penjara Sukamiskin kemudian
dilanjutkan saat pembuangan di Ende. Soekarno mulai mengeluarkan pendapatnya
tentang Islam di media massa saat dipindahkan ke Bengkulu.
Soekarno
adalah murid HOS Tjokroaminoto.
5 ciri
masyarakat onta atau Islam Sontoloyo yang menurut Soekarno membuat Islam mundur
dan konflik tak berujung yang menghambat kemajuan bangsa :
1. MUDAH
MENCAP KAFIR
Dalam
Surat-surat Islam dari Ende (1930-an) dan Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal
Udara (1940), Bung Karno menulis kritik terhadap kecenderungan sebagian ulama
dan umat Islam saat itu yang begitu mudah mencap kafir.
“Kita royal
sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang
baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir;
sendok dan garpu dan kursi kafir; tulisan Latin kafir; yang bergaul dengan bangsa
yang bukan bangsa Islam pun kafir!”
Menurut Bung
Karno, yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, radio dan listrik,
kemoderenan dan ke-uptodate-an berarti mereka mau tinggal dalam
keterbelakangan, kuno, makan tanpa sendok, dan naik onta.
“Astagfirullah,
inikah Islam? Inikah agama Allah?”
tulisnya.
2. TAKLID
BUTA
Bagi Bung
Karno, taklid itu seperti abu, debu, dan asap. Ia bukan api Islam. Islam tak
lagi jadi agama yang boleh dipikirkan secara merdeka, tapi telah menjadi
monopoli kaum fakih dan kaum tirakat.
“Hampir
seribu tahun akal dikungkung sejak kaum Mu’tazilah sampai Ibnu Rusyd dan
lainnya. Asy’arisme pangkal taklidisme dalam Islam. Akal tidak diperkenankan
lagi. Akal itu dikutuk seakan-akan dari setan datangnya,” paparnya.
Snouck
Hurgronje mengatakan, bahwa ulama dari segala zaman terikat dengan ucapan ulama
terdahulu, dari masing-masing mazhabnya.
Syariat itu
akhirnya bergantung kepada Ijma’ dan tidak kepada maksud-maksud firman Allah
yang asli...
Padahal
menurut Soekarno dua sumber utama Islam adalah Kalam Allah dan Sunnah Rasul.
Dari dua
sumber ini pula para ulama mengambil kesimpulan hukum. Dari dua sumber utama
ini pula kita mesti menyalakan api Islam.
Menurut Bung
Karno, Al-Quran itu tidak berubah. Bahkan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di
hujan, tidak lekang di panas.”
Tapi
pandangan masyarakat yang senantiasa berubah, berevolusi, dinamis, mengalir...
3.
MENGUTAMAKAN FIKIH
Dalam Islam
Sontoloyo (1940), Bung Karno menulis bahwa fikih (Interpretasi seseorang)
bukanlah satu-satunya tiang keagamaan.
Tiang
utamanya ialah terletak pada ketundukan jiwa kita pada Allah...
“Fikih itu,
walaupun sudah kita saring semurni-murninya, belum mencukupi semua kehendak
agama. Belum dapat memenuhi syarat-syarat ketuhanan yang sejati, yang juga
berhajat kepada tauhid, akhlak, kebaktian ruhani, kepada Allah,” tulisnya.
Menurut
Soekarno, Al-Quran dan api Islam seakan-akan mati karena kitab fikih itu saja
yang dijadikan pedoman hidup, bukan kalam Ilahi itu sendiri...
“Dunia Islam
sekarang ini setengah mati, tiada nyawa, tiada api, karena umat Islam sama
sekali tenggelam dalam kitab fikihnya saja, tidak terbang seperti burung garuda
di atas udara-udaranya Levend Geloof, yakni udara-udaranya agama yang hidup.”
Bung Karno
tidak membenci fikih. Menurutnya, fikih tetap penting. Bahkan ia menyebutkan,
masyarakat Islam tak dapat berdiri tanpa hukum-hukum fikih. Sebagaimana tiada
masyarakat tanpa aturan perundang-undangan.
“Saya hanya
membenci orang atau perikehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada
fikih, kepada hukum-hukumnya syariat itu saja,” tulisnya.
Dengan
mengutip Farid Wadji, Muhammad Ali, Kwada Kamaludin, Amir Ali, ia mengatakan
bahwa alangkah baiknya disamping mempelajari fikih kita juga dengan sungguh
belajar nilai dan visi etik Al-Quran.
Soekarno
mempraktikkan, ketika anjing yang ia pelihara menjilat air di dalam panci di
dekat sumur. kemudian Ia meminta Ratna Juami untuk membuang air itu dan
mencuci panci itu beberapa kali dengan sabun dan kreolin.
“Di zaman Nabi belum ada Sabun dan Kreolin!
Nabi S.A.W. telah menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia,
membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh,”
paparnya.
4. TIDAK
MELEK SEJARAH
Dalam
Surat-surat Islam dari Ende (1930-an), Bung Karno menulis, umumnya kita punya
ulama dan kiai tapi tidak ada sedikitpun “feeling” kepada sejarahnya.
Mereka punya
minat hanya tertuju pada agama, terutama pada bagian fikih. Tapi pengetahuan
tentang sejarah umumnya nihil. Padahal sejarah adalah padang penyelidikan yang
maha penting!
“Kebanyakan
mereka tak mengetahui sedikitpun dari sejarah itu. Sejarah, apalagi bagian
“yang lebih dalam”, yakni yang mempelajari kekuatan-kekuatan masayarakat yang
menyebabkan kemajuan atau kemundurannya sesuatu bangsa. Sejarah itu sama sekali
tidak menarik mereka punya perhatian,” tulisnya.
Paling
mujur, lanjut Bung Karno, mereka hanya mengetahui Tarikh Islam saja.
Dari tarikh
Islam ini seharusnya mereka sudah dapat menggali juga banyak ilmu yang
berharga.
Tapi umumnya
kita mempelajari hukum, kenal isi kitab fikih, mengetahui tiap perintah dan
larangan agama hingga yang terkecil, tapi kita tidak mengetahui bagaimana cara
Nabi, para sahabat, tabiin, khalifah menafsirkan perintah dan larangan-larangan
Allah didalam urusan sehari-hari dan urusan negara.
“Kita sama
sekali gelap dan buta buat didalam hal menafsirkan itu oleh karena tidak
mengenal tarikh,” imbuhnya.
Menurut
Soekarno, pelajaran terbesar dari sejarah adalah bahwa Islam di zamannya yang
pertama dapat terbang meninggi seperti burung garuda diatas angkasa karena
fikih tidak berdiri sendiri.
Fikih mesti
disertai dengan tauhid dan etiknya Islam yang menyala-nyala. Fikih
hanyalah “kendaraan” saja.
Kendaraan
ini dikusiri oleh rohnya etik Islam serta tuhid yang hidup.
Dengan fikih
yang demikian itulah umat Islam menjadi cakrawati (pucuk pimpinan) di separuh
dunia !
Dengan
mengutip Essad Bey, Bung Karno mengatakan, jika kedudukan fikih begitu sentral disitulah
Islam membeku menjadi satu sistem formil terbelakang.
Ia tiada
bergerak lagi, ia mandek ! Bukanlah saja mandek, fikih bukan lagi menjadi
petunjuk dan pembatas hidup.
Jika pemuka
dan umat Islam Indonesia tetap tidak mengindahkan pelajaran besar dari
sejarahnya sendiri dan mengikuti jejak para pemimpin besar di negeri lain serta
hanya berorientasi fikih, maka jangan harap umat Islam Indonesia akan dapat
mempunyai kekuatan jiwa hebat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib yang
sekarang ini
5. HADITS
LEMAH DIJADIKAN PEDOMAN
Menurut
sebagian ulama, hadits lemah (da’if) bisa dijadikan sumber hukum selama tak
bertentangan dengan Al-Quran.
Bagi Bung
Karno, hadits lemah diantara yang menyebabkan kemunduran Islam.
“Saya perlu
kepada Bukhari atau Muslim itu karena disitulah dihimpun hadits-hadits sahih.
Walaupun
dari keterangan salah seorang pengamat Islam bangsa Inggris, di Bukhari pun
masih terselip hadits-hadits yang lemah...
Dia pun
menerangkan, bahwa kemunduran Islam, kekunoan Islam, kemesuman Islam,
ketakhayulan orang Islam banyaklah karena hadits-hadits lemah itu yang sering
lebih laku daripada ayat-ayat Al-Quran.
[John H.
Mempi]
No comments:
Post a Comment